Studi kasus IV

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.      Tujuan Operasional Penelitian

Sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan, penelitian ini bertujuan untuk:

  1. memperoleh informasi tentang pengertian dan alasan pengembangan PGMKSBM;
  2. memperoleh informasi tentang  indikator keberhasilan tujuan PGMKSBM;
  3. memperoleh informasi tentang bagaimana difusi inovasi PGMKSBM dilakukan;
  4. memperoleh informasi tentang penyelenggaraan Pendidikan Guru Model Kualifikasi dengan Sistem Belajar Mandiri di Wilayah Banten;
  5. memperoleh iformasi tentang keberhasilan pelaksanaan Pendidikan Guru Model Kualifikasi dengan Sistem Belajar Mandiri; dan
  6. menganalisis faktor-faktor pendukung dan penghambat penyelenggaraan PGMKSBM di Wilayah Banten; dan

 

B.     Metode Penelitian

Sesuai dengan pertanyaan penelitian, maka metode yang tepat untuk penelitian ini adalah studi kasus. Yin (1984), mendefinisikan penelitian studi kasus sebagai penelitian empiris yang menyelidiki suatu fenomena (gejala) kontemporer dalam konteks senyatanya (real-life)  dimana batas-batas antara  fenomena dan konteks tersebut masih belum jelas.[1] Berikut ini adalah alasan digunakanya metode studi kasus berkaitan dengan masalah yang diselidiki dalam penelitian ini:

  1. masalah belajar mandiri merupakan isu kontemporer yang banyak menarik perhatian peneliti untuk mengetahuinya lebih jauh. Disamping itu, pendidikan dengan sistem belajar mandiri yang dilakukan oleh PGMKSBM ini merupakan model inovasi pendidikan yang baru-baru ini dikembangkan untuk memecahkan masalah peningkatan kualifikasi guru di Indonesia. Penyelenggara PGMKSBM sedang membutuhkan masukan-masukan dalam rangka mengembangkan atau meningkatkan kualitas dari model pendidikan ini.
  2. gejala dan konteks yang terjadi dalam penyelenggaraan model pendidikan dengan sistem belajar mandiri tersebut dalam situasi senyatanya belum jelas. Peneliti tidak memanipulasi sedikitpun terhadap gejala yang sudah maupun akan terjadi dalam model pendidikan tersebut.
  3. penelitian ini bertujuan untuk mengungkap beberapa pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan “apa”, “mengapa” dan “bagaimana” gejala yang terjadi dalam masalah penelitian ini.
  4. penelitian ini menggunakan berbagai sumber dan teknik pengumpulan data sebagai upaya untuk menjawab pertanyaan penelitian.

C.     Prosedur Penelitian

Langkah-langkah dalam penelitian ini mengikuti tahap-tahap yang direkomendasikan oleh Yin (1994). Yin, seperti dikutip oleh Tellis mengklasifikasikan langkah-langkah penelitian studi kasus ke dalam tiga (3) tahapan seperti berikut ini: [2]

  1. 1. Merancang Studi Kasus

Perancangan studi kasus dilakukan dengan dua langkah, meliputi: 1) pembekalan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan; dan 2) pengembangan dan pengkajian ulang penelitian.

  1. a. Pembekalan Pengetahuan dan Keterampilan

Untuk langkah ini, Yin menyarankan untuk mengikuti atau menyelenggarakan  pelatihan, terutama apabila penelitian dilakukan secara kelompok (team). Namun, dalam konteks penelitian ini, peneliti mengatasinya dengan cara mengkaji sendiri secara khusus literatur-literatur yang berkaitan dengan studi kasus baik melalui buku atau internet dan mendiskusikannya dengan dosen pembimbing.

b. Pengembangan dan Pengkajian Ulang Penelitian

Dalam rangka pengembangan penelitian, peneliti telah menghubungi salah satu dari pihak penyelenggara PGMKSBM untuk mendapatkan informasi awal. Setelah itu peneliti mengembangkannya kedalam bentuk proposal, seperti terlihat dalam proposal penelitian ini. Sementara itu, pengkajian ulang penelitian yang sedang dikembangkan dilakukan melalui konsultasi dengan pembimbing dan untuk selanjutnya diajukan sebagai makalah kualifikasi.

  1. 2. Melakukan Studi Kasus

Tahap kedua ini terdiri atas tiga (3) langkah, meliputi: 1) penentuan teknik pengumpulan data; 2) penyebaran alat pengumpulan data; dan 3) penganalisisan bukti studi kasus yang terkumpul. Namun, dalam konteks penelitian ini, peneliti menambahkan satu langkah lagi setelah langkah pertama, yaitu penentuan subyek penelitian (informan) dan teknik samplingnya.

  1. a. Penentuan Teknik Pengumpulan Data

Seperti telah diungkapkan diatas, salah satu karakteristik dan kekuatan utama dari studi kasus adalah dimanfaatkanya berbagai sumber dan teknik mengumpulkan data. Yin (1984) mengklasifikasikan enam sumber data yang dapat digunakan dalam penelitian studi kasus, yaitu: dokumen, catatan arsip, wawancara, pengamatan langsung, pengamatan berperanserta, dan bukti fisik.[3] Sebagai konsekuensi dari karakteristik studi kasus tersebut, semua teknik mengumpulkan data yang memungkinkan dan relevan dengan pertanyaan penelitian akan digunakan dalam penelitian ini.

Oleh karenanya, teknik pengumpulan data yang relevan untuk digunakan dalam penelitian ini meliputi:

1)      Analisis Dokumen dan Catatan; yang meliputi dokumen, catatan arsip dan bukti-bukti fisik lain yang relevan;

2)       Kuesioner; dan

3)      Wawancara; dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interview).

Secara lebih rinci, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti dalam tabel berikut:

Tabel 5 :

Teknik Pengumpulan Data

 

 

Pertanyaan Penelitian

Teknik Pengumpulan Data

 

Wawancara

 

Kuesioner

Analisis
Dokumen Arsip Bukti Fisik
1.  Bagaimana PGMKS-BM diselenggarakan?

 

 

 

 

 

2.  Seberapa jauh keberhasilan dan kegagalan PGMKSBM?

 

 

 

 

 

3.  Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat  keberhasilan  PGMKSBM?

 

 

 

 

 

4.  Bagaimana upaya-upaya yang telah dan sedang dilakukan penyelenggara untuk me-ngoptimalkan PGM-KSBM?

 

 

 

 

 

5.  Bagaimana proses difusi inovasi PGMKSBM berjalan?

 

 

 

 

 

6.  Seberapa jauh keberhasilan dan kegagalan proses difusi inovasi PGMKSBM?

 

 

 

 

 

7.  Faktor-Faktor apa saja yang mendukung dan menghambat PGMKSBM?

 

 

 

 

 

8.  Bagaimana upaya yang telah dan sedang dilakukan untuk mengoptimalkan proses difusi inovasi PGMKSBM

 

 

 

 

 

 

  1. b. Penentuan Subyek Penelitian

Salah satu krakteristik dan kekuatan utama dari studi kasus adalah dimanfaatkanya berbagai sumber dan teknik mengumpulkan data.[4] Dengan demikian teknik cuplikan (sampling) dalam penelitian ini bersifat bertujuan (purposive). Sehingga, yang menjadi subyek penelitian (informan) adalah mereka yang diangap dapat memberikan informasi yang memadai berkaitan dengan pertanyaan penelitian ini. Oleh karenanya,  terdapat beberapa subyek penelitian yang sengaja dipilih dan ditentukan peneliti sebagai sumber data. Subyek-subyek penelitian tersebut adalah 1) beberapa mahasiswa lulusan PGMKSBM, 2) para tutor/instruktur,  3) para pimpinan dan staff penyelenggara PGMKSBM, dan 5) para inisiator PGMKSBM.

  1. c. Penyebaran Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan penyebaran alat pengumpulan data adalah: 1) mengumpulkan dokumen, catatan arsip dan bukti-bukti fisik yang relevan; 2) penyebaran kuesioner; dan 3) pelaksanaan wawancara mendalam. Pelaksanaan ketiga hal ini akan dilakukan segera setelah proposal ini dianggap layak dan disetujui untuk dilanjutkan pada tahap pengumpulan data.

 

 

  1. d. Penganalisisan Bukti-Bukti Studi Kasus

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan penganalisisan bukti-bukti studi kasus  adalah sama dengan analisis data. Untuk dapat melakukan hal ini diperlukan: 1) teknik analisis data dan 2) teknik pemeriksaan keabsahan data.

1) Teknik Analisis Data

Teknik analisis dan penafsiran data dalam penelitian ini mengikuti langkah-langkah yang direkomendasikan oleh Yin (1994), seperti dikutip oleh Tellis (1997), yang menyatakan bahwa analisis data dilakukan dengan penelaahan, kategorisasi, melakukan tabulasi data dan atau mengkombinasikan bukti untuk menjawab pertanyaan penelitian.[5] Prosedur ini senada dengan prosedur yang direkomendasikan oleh Moleong (2001),[6] bahwa proses analisis data dimulai dengan: 1) menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, dalam hal ini adalah dari hasil wawancara, kuesioner, maupun analisis dokumen; 2) setelah ditelaah maka langkah selanjutnya adalah mengadakan apa yang dinamakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan kunci yang perlu dijaga agar tetap berada didalamnya; 3) langkah berikutnya adalah menyusunnya kedalam satuan-satuan untuk kemudian dikategorisasikan; 4) melakukan pemeriksaan keabsahan data dengan teknik tertentu dan 5) diakhiri dengan penafsiran data.

Cara lain dilakukan dengan teknik analisis pencocokan pola (pattern-matching),[7] yaitu membandingkan antara pola-pola yang diperoleh secara empirik dengan pola yang diprediksikan. Terakhir adalah teknik analitis (explanation building),[8] yaitu cara menganalisis data studi kasus dengan membangun penjelasan tentang kasus tersebut. Teknik terakhir ini sangat relevan untuk menjawab pertanyaan kausal “mengapa” dan membantu memperkokoh teknik pencocokan pola.

2) Pemeriksaan Keabsahan Data

Menurut Winston (1997), studi kasus merupakan strategi penelitian yang bersifat triangulasi.[9] Triangulasi tersebut meliputi triangulasi data, penyelidik, teori, dan metodologi. Oleh karenanya, pemeriksaan kabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara triangulasi. Pemeriksaan keabsahan data lain, seperti yang direkomendasikan oleh Moleong (2001)[10], dilakukan dengan cara: 1) uraian rinci, 2) kecukupan referensial dan 4) auditing.

  1. 3. Pengembangan Kesimpulan, Implikasi dan Saran

Tahap ini merupakan tahap akhir dari setiap penelitian sebagai upaya melaporkan hasil penelitiannya kepada khalayak umum. Setelah data dianalisis dan ditafsirkan, peneliti segera mengembangkan kesimpulan yang akan dijadikan dasar dalam mengembangkan implikasi dan saran yang relevan.

 

D.    Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Wilayah Propinsi Banten, meliputi Kabupaten Serang, Pandeglang dan Lebak. Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan  Juli 2002.

 

 

 


[1] Soy, Susan K., “The Case Study as a Research Method”, Uses and Users of Information – LIS 391D.1 – Spring 1997, ( http://www.gslis.utexas.edu/~ssoy/usesusers/1391d1b.htm).

[2] Tellis, Winston, “Application of a Case Study Methodology”, The Qualitative Report, Volume 3, Number 3, September, 1997, (http://www.nova.edu/sss/QR/QR3-3/tellis2.html).

[3] Yin, Robert K.; (1984), “Case Study Research: Design and Methods”, (Beverly Hills: Sage Publica-tion, 1984), h. 78.

[4] Tellis, op. cit.,

[5] Ibid., h. 1

[6] Moleong, Lexy J., “Metodologi Penelitian Kualitatif”, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), Bandung, h. 190.

[7] Yin,  op. cit., h. 103.

 

[8] ibid. h. 107.

 

[9] Tellis, Winston,; “Introduction to Case Study”, the Qualitative Report, Volume 3, Number 2, July, 1997, (http://www.nova.edu/sss/QR/QR3-2/tellis1.html).

[10] Moleong, op.cit., h. 170 – 187.

studi kasus III

Kemitraan dengan Negara Lain
ImageOleh:
Kemal Taruc of-EcoLink

 

Mahakam si Raksasa

Kenapa bapak-bapak tidak duduk bersama dan menanggulangi masalah sungai kita, banjirnya semakin parah setiap tahun,” suara si penelpon terdengar galau. Ini acara bincang-bincang di TV daerah di Samarinda. Untuk pertama kali, wakil dari 3 pemda yaitu Kodya Samarinda, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Propinsi Kalimantan Timur duduk berjajar di depan kamera TV dan menjawab pertanyaan pemirsa. Kebanyakan penelpon adalah penduduk yang merasa frustrasi karena harus menghadapi banjir dari sungai Mahakam setiap tahunnya. Acara bincang-bincang ini adalah awal dari gagasan propinsi untuk mengambil peran koordinasi dalam era baru otonomi daerah di Indonesia untuk menghadapi masalah sungai Mahakam, yang meliputi wilayah kerja dari beberapa pemda.

Ada berbagai macam masalah lingkungan yang dihadapi Sungai Mahakam, yang secara historis merupakan urat nadi kehidupan Kalimantan Timur. Sungai yang berpanjang 920 km, mengalir dari kabupaten-kabupaten hulu Malinau dan Kutai Barat, kemudian melintasi dua kabupaten lain, Kutai Kartanegara dan Kutai Timur, serta Kotamadya Samarinda dan berakhir di Selat Makassar di pantai timur Kalimantan. Masalah-masalah Sungai Mahakam yang dihadapi beberapa daerah pemerintahan ini mencakup masalah dampak penebangan hutan; peningkatan endapan lumpur, naiknya kadar garam musiman, erosi dari tanah gundul ke-3 danau yang dihuni pesut, lumba-lumba air tawar yang terancam punah, banjir di kota Samarinda, dan masuknya garam yang membuat karat di jaringan PAM dan pendangkalan jalur perkapalan ke pelabuhan sungai.

Masalah DAS (Daerah Aliran Sungai) Mahakam mewakili persoalan lingkungan secara keseluruhan dari Kalimantan Timur. Pengakuan akan adanya masalah bersama adalah awal pandangan bahwa kerjasama dan koordinasi semua kabupaten hulu, yaitu Malinau, Kutai Barat dan Kutai Kartanegara bagian hulu, adalah sangat perlu dalam perencanaan dan pengelolaan daerah tangkapan air. Sementara daerah-daerah hilir, kota Samarinda dan wilayah pantai Kutai Timur dan Kutai Kartanegara hilir, ‘korban’ dari masalah di hulu sungai, perlu dilibatkan dalam koordinasi. Adalah pemerintah propinsi yang memulai gagasan untuk koordinasi antar daerah yang berfokus pada pengembangan model pengelolaan DAS.

Kemitraan di Sungai Mahakam

Ketika Propinsi Kalimantan Timur dipilih untuk ‘program kemitraan’ antara pemerintah daerah di Indonesia dan Amerika Serikat, ini merupakan kesempatan baik untuk menerapkan gagasan seperti itu. Saat itu tahun 2002, beberapa bulan setelah tragedi 9/11, yang tampaknya bukan saat yang baik bagi mitra asing untuk mengunjungi AS dalam program pertukaran. Akan tetapi program sudah ditetapkan pada tahun 2001, ketika ICMA dan USAID membuat program kerjasama untuk meluncurkan Resource Cities Program untuk Indonesia. Bersama-sama dengan 4 kota dan kabupaten lain di Kalimantan Timur, pemerintah Propinsi Kalimantan Timur bermitra dengan pemerintah negara bagian di AS. Negara bagian Oregon dianggap sebagai pasangan yang sepadan bagi Propinsi Kalimantan Timur.

Langkah pertama dalam proses adalah penilaian bidang-bidang utama yang ingin dijadikan bidang kerjasama antara kedua mitra dalam 2 tahun mendatang. Seorang konsultan dari ICMA disertai rekanan setempat dikirim untuk melakukan penilaian awal pada bidang utama kerjasama. Pada pertemuan pertama, ia menemui Asisten Gubernur bidang Pemerintahan yang memberikan pengarahan jelas dan menunjukkan kepemimpinan yang kuat. Ia menekankan bahwa diantara masalah penting yang memerlukan bantuan adalah menemukan model atau kerangka yang tepat untuk koordinasi antar pemda dalam pengelolaan DAS Mahakam.

Akan tetapi, para konsultan mencoba dahulu untuk mencari fakta lebih jauh dan menempatkan diri sebagai ‘fasilitator’ atau ‘perantara’ untuk menyampaikan dan menawarkan proposal propinsi ke pemda lainnya yang ikut serta dalam program kemitraan. Para fasilitator menginginkan untuk memastikan bahwa para pihak kepentingan telah menerima informasi dan juga memiliki kesempatan untuk menyampaikan kepentingan dan pendapat mereka sejak dari awal proses perencanaan program. Adalah penting bahwa pada awal program tidak ada ‘kejutan’ dari dan bagi pihak manapun. Meskipun ini makan waktu dan melelahkan bagi konsultan, karena harus pulang balik diantara 4 wilayah dan pemerintah daerah yang berbeda, tetapi  proses ini tetap harus dilakukan. Proposal dari Propinsi yang berbentuk perintah resmi mungkin akan lebih mudah, kalau menurut hukum Propinsi memiliki hak dan tanggung jawab dalam masalah lintas batas lintas daerah tingkat 2, seperti masalah pengelolaan sungai. Tetapi konsultan memilih untuk tidak mengambil langkah ini. Koordinasi adalah lebih dari sekedar kewenangan resmi menurut hukum. Koordinasi adalah komunikasi, rasa kerjasama dan kolaborasi, dan lebih penting lagi, kontak diantara pejabat-pejabat setempat yang menangani masalah lingkungan dan masalah-masalah lain yang berkaitan.

Setelah satu minggu melakukan komunikasi intensif, akhirnya sebuah daftar usulan masalah­masalah utama tersusun. Kemudian dengan undangan dari Pemda Propinsi, semua wakil-wakil pemda tingkat 2 dan pimpinan BAPPEDA, bertemu dalam acara makan malam di balairung Pemda Propinsi. Ini adalah awal dari pertemuan resmi untuk membahas dan memutuskan agenda bersama. Para konsultan menyampaikan presentasi mereka, yang menunjukkan daftar proposal, persamaan dan perbedaannya, dan meminta hadirin untuk memilih prioritas berdasarkan daftar yang disampaikan (Lampiran 1).

Kemudian konsultan memfasilitasi sebuah diskusi, dimana masing-masing perwakilan pemda diminta untuk memilih satu prioritas utama dan dua pilihan paling bawah. Dijelaskan dalam diskusi bahwa keberhasilan kolaborasi menghendaki adanya agenda yang disetujui bersama, dan setiap pihak harus memiliki komitmen untuk menjadikannya sebagai bagian dari kegiatan internal masing-masing pihak. Akhirnya semua menyetujui bahwa agenda utama adalah “mengembangkan strategi dan mekanisme untuk meningkatkan pengelolaan dan kualitas lingkungan DAS Mahakam dengan kerjasama dan partisipasi dari Pemda Propinsi dan Tingkat II dan pihak-pihak lain yang terkait.”

Perjalanan yang Membuka Mata

Dengan adanya agenda yang jelas, Propinsi Kalimantan Timur mengusulkan kepada delegasi Oregon yang datang berkunjung, untuk membantu agenda tersebut. Karena itu, program yang sesuai dapat disusun untuk perjalanan lapangan dan kunjungan delegasi Kalimantan Timur ke Oregon, yang memungkinkan tim Propinsi belajar sebanyak mungkin dalam perjalanan 7 hari penuh itu. Perjalanan tersebut merupakan kesempatan juga bagi pejabat-pejabat Pemda Propinsi dan Kabupaten untuk melakukan komunikasi informal yang bermanfaat. Mereka membahas, mempertanyakan dan menyampaikan pendapat di antara anggota rombongan sendiri dalam menilai apakah terdapat cukup persamaan atau kemungkinan untuk menerapkan ide dari apa yang mereka lihat. Kunjungan itu tidak hanya melihat fasilitas fisik (pelabuhan sungai, bendungan, perusahaan PLTA, pembibitan ikan salem, dll) tetapi juga bertemu dan berdiskusi dengan pejabat dinas-dinas yang terkait dengan pengelolaan air baik ditingkat lokal maupun negara bagian, dan juga dengan asosiasi pengguna air di wilayah Sungai Wilammatte di Oregon Barat.

Perjalanan ke Oregon adalah perjalanan yang membuka wawasan, karena rombongan Kalimantan Timur dapat mendengar, melihat langsung dan mengamati serta memahami apa yang mereka dengar dari pertukaran pengalaman dengan delegasi Oregon. Satu hal pasti adalah rombongan Kalimantan Timur sangat terkesan dengan adanya komitmen yang kuat dari para pemilik kepentingan di Oregon untuk menjaga sungai dan daerah tangkapan air di wilayahnya. Diantara mereka adalah 90 kelompok pengguna air sungai dan anak sungai Wilammatte, yaitu asosiasi pemakai yang berbeda-beda menurut lokasi dan jenis penggunaan (petani, pemilik tanah, hutan pribadi, industri, pejabat setempat, dll), demikian juga adanya LSM lingkungan pemerhati daerah tangkapan air yang mencakup beberapa wilayah pemerintahan setempat, dan didukung pejabat terpilih dan termasuk gubernur negara bagian.

Mereka juga melihat bahwa kemauan yang kuat untuk menjaga sungai dan daerah tangkapan air berasal dari kebanggaan Oregon atas kekayaan alam mereka yang unik, yaitu ikan salem, yang menjadi ikon untuk membangun wawasan bersama. Delegasi Kalimantan Timur setuju dengan sejawatnya dari Oregon yang mengingatkan bahwa lumba-lumba air tawar-pesut Mahakam merupakan ciri keunikan yang istimewa dari Kalimantan Timur, serupa dengan ikan salem untuk wilayah Pasifik Barat Laut. Dalam melakukan fasilitasi, konsultan menanyakan kepada rombongan propinsi, apakah mereka menghendaki pengembangan wawasan bersama para pihak di Kalimantan Timur atas sungai Mahakam perlu dimasukkan dalam agenda mereka.

Pada minggu-minggu berikutnya, Kelompok Kerja Kalimantan Timur dibentuk sebagai badan setengah resmi untuk menampung wakil-wakil dari para pihak kepentingan utama atas Sungai Mahakam, dan terlebih lagi, sebagai forum untuk komunikasi antara pejabat-pejabat dari Kabupaten, Kotamadya dan Propinsi. Kelompok ini ditugasi dengan tugas-tugas berikut.

  • Koordinasi dari pengembangan metodologi pengelolaan DAS Mahakam (dan dengan demikian termasuk tata-ruang DAS dan rencana-rencana kerja) yang meliputi semua pemda dengan wilayah kerja di wilayah DAS, dan para-pihak kepentingan yang lain.
  • Membentuk keanggotaan yang melibatkan semua pemda di wilayah DAS, serta pejabat Propinsi yang terkait, termasuk juga LSM dan Universitas Mulawarman.
  • Mengembangkan metode perencanaan tata-guna tanah dan perlindungan hutan, dan juga memperkuat hubungan antara calon investor dengan komunitas asli setempat dalam penggunaan sumber alam di DAS Mahakam.

Berdasarkan mandat tersebut, langkah Kelompok Kerja yang pertama adalah menyelenggarakan pertemuan para-pihak kepentingan dalam acara khusus pada saat peringatan tahunan ‘hari air’, untuk mulai menerapkan gagasan sekaligus melakukan tugasnya dalam membantu proses pengembangan wawasan bersama atas Mahakam diantara para-pihak yang berkepentingan

Studi kasus II

Kemelut di Lereng Merapi
Oleh:P.Radja Siregar-peneliti lepas

 

ImageSetelah ramai diberitakan media massa sepanjang bulan Mei dan Juni 2004, Bupati Sleman Ibnu Subianto akhirnya membuat keputusan menghentikan sementara pasokan air untuk AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) merek “Evita”. Keputusan tersebut meredakan amarah petani yang sejak tahun 1997 terlibat konflk rebutan air dengan PDAM Sleman. Namun Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Hamengku Buwono X, punya pendapat berbeda. Keputusan tersebut dipandang memberikan ketidakpastian usaha di DIY.
Pada bulan Mei 2004, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Sleman dan dua PDAM dari Kota Yogyakarta mencopot pipa-pipa air by-pass,  yaitu sambungan yang dipasang tanpa melalui alat ukur. Para petani menuding, ketiga perusahaan air bersih tersebut telah mencuri air Umbul Wadon melalui pipa-pipa by-pass tersebut. .

 

Keputusan tersebut merupakan jawaban atas aksi protes yang digelar ratusan petani dari Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Para petani di lereng Gunung Merapi mengancam akan merusak jaringan pipa air bersih milik PDAM Sleman karena menduaga keras bahwa BUMD tersebut telah mengambil air melebihi yang dijatahkan. Pengukuran debit air Umbul Wadon oleh Dinas Pengairan, Pertambangan dan Penganggulangan Bencana Alam (PPBA) Kabupaten Sleman pada bulan Desember 2003, mempertegas dugaan tersebut.

Ketiga perusahaan air minum tersebut di atas telah menyedot sebanyak 72,6 persen dari total debit air Umbul Wadon.  Menurut dokumen AMDAL pemanfaatan air Umbul Wadon pada tahun 2000 mengalokasikan air minum hanya sebesar 35 persen. Selebihnya, 50 persen untuk irigasi dan 5 persen untuk konservasi.  Akibatnya, selama tiga tahun terakhir petani di daerah sekitarnya mulai kesulitan air.

Kemarahan petani memuncak kala mengetahui PDAM Sleman juga menjual air dari Umbul Wadon ke perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) merek “Evita”.  Praktek yang telah berlangsung lama ini tidak diketahui oleh petani dan masyarakat Sleman.  Peresmian pabrik air minum tersebut oleh Gubernur DI Y Hamengku Buwono X, pada akhir bulan Mei 2004, menguak praktek komersialisasi air tersebut.

Oleh beberapa media massa terbitan Jakarta dan Yogyakarta, Gubernur DIY dinilai cenderung mengarah pada kebijakan yang memenangkan kapitalisme dan memarginalisasi wong cilik. Pasalnya, peresmian perusahaan AMDK itu berlangsung di tengah para petani Sleman sedang mengeluhkan kesulitan air untuk irigasi dan keperluan sehari-hari.

Gubernur DIY memberikan tanggapannya lewat  surat terbuka pada harian Radar Jogja (22/6/ 04). Bahwa kehadirannya selaku gubernur dalam peresmian AMDK milik PT.Envirotama Artha itu karena semua persyaratan yang dilampirkan dalam undangan sudah memenuhi kelengkapan, kelayakan,dan sah secara hukum.

Lewat surat terbuka itu gubernur mengkritik Pemerintah Kabupaten Sleman dan menyayangkan Pemkab Sleman yang dengan mudah memberikan izin pendirian AMDK Evita, dan memberikan pasokan air, tetapi dengan mudah pula menghentikan suplai air. Yang terjadi di Sleman, menurut gubernur, bisa memberikan ketidak-pastian usaha di DIY.

Saling tuding memang terjadi antara Pemprop DIY dan Pemkab Sleman. Kepada DPRD Kabupaten Sleman, Bupati Sleman menyatakan investasi tersebut berlangsung melalui Pemerintah Propinsi. Menurutnya, Kabupaten Sleman hanya dilangkahi. Pejabat Pemda Sleman sendiri tidak mau menjawab langsung pertanyaan media massa seputar kasus tersebut.

Bupati menegaskan bahwa langkah yang ditempuhnya, termasuk halnya permasalahan “Evita” , didasarkan pada pertimbangan kepentingan publik dan demi kesejahteraan masyarakat Sleman. Untuk selanjutnya “Evita” akan dimasukkan dalam pola realokasi dari sistem sumberdaya air di Kabupaten Sleman secara keseluruhan. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, dalam waktu dekat bupati akan memutuskan penataan alokasi sumber daya air di Kabupaten Sleman.

Masyarakat Sleman dan akademisi di daerah tersebut sebelumnya tidak mengetahui sama sekali mengenai perusahaan AMDK itu. Harry Supriyono, peneliti di Pusat Studi Lingkungan UGM baru mendengar tentang “Evita” setelah kasus tersebut mencuat. Padahal dirinya merupakan salah seorang anggota Komisi AMDAL Kabupaten Sleman mewakili akademisi.

Dokumen pengajuan perizinan “Evita” tidak masuk ke instansi lingkungan. Dokumen ini merupakan syarat untuk perusahaan yang memiliki dampak pada lingkungan. Untuk perusahaan yang memanfaatkan air lebih dari 50 liter/detik, maka wajib memenuhi kajian AMDAL. Bagi yang mengambil air kurang dari 50 liter/detik cukup melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan/Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL). “Evita” tidak memiliki satu diantaranya, yang berarti perusahaan tersebut mestinya tidak memiliki izin.  Belakangan diketahui, selain “Evita” terdapat dua perusahaan AMDK lainnya yakni “Qannat” dan “Arbass”. Keduanya belum memenuhi syarat pembuatan UKL/UPL.

Keputusan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman memberikan pasokan air dinilai keterlaluan. Ketersediaan air untuk irigasi petani Sleman maupun untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat saat itu tidak terpenuhi seluruhnya. PDAM Sleman juga mengalami defisit air baku. Diberikannya pasokan air pada industri AMDK memperparah keadaan.

Pengambilan Air Umbul Wadon

Mata air Umbul Wadon terletak di di Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Awalnya ada dua mata air di desa ini, yang satunya diberi nama Umbul Lanang. Kedua mata air ini disebut penduduk sekitar sebagai Umbul Manten.  Namun karena kondsi lingkungan yang makin merosot, mata air Umbul Lanang tidak lagi mengeluarkan air sejak beberapa tahun lalu.

Menurut catatan Pemekab Sleman tahun 1979, di kabupaten ini terdapat 102 mata air. Rata-rata ada dua atau tiga mata air di setiap desa.  Sekarang, kenyataannya berbeda. Ratusan mata air itu sebagian besar sudah mati. Yang tersisa hanyalah mata air Umbul Wadon, Bebeng, dan mata-mata air kecil lainnya. Umbul Wadon adalah satu-satunya mata air yang bisa diandalkan untuk kebutuhan air bersih penduduk Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.

Air dari Umbul Wadon mengalir ke Sungai Kuning. Selain itu, mata air juga mengalir ke mana-mana, meresap ke tanah mengisi sumur-sumur penduduk.  Lewat Sungai Kuning, petani di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul menggunakannya untuk irigasi pertanian. Air ini juga digunakan untuk menunjang usaha peternakan sapi perah dan pariwisata kawasan Kali Kuning.

Debit air Umbul Wadon cukup besar. Menurut hasil pengukuran Dinas Pengairan Kabupaten Sleman dan Pemda DI Y mata air ini mampu mengalirkan air sebesar 355-400 liter per detik pada musim kemarau dan 600 liter per detik pada musim hujan.  Debit air sebesar itu memenuhi seluruh kebutuhan air ribuan penduduk yang berdomisili di belasan desa sekitar lereng selatan Merapi yang mencakup empat kecamatan yaitu Cangkringan, Pakem, Ngemplak, dan Ngaglik. Pada awalnya air tersebut cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk pertanian (padi sawah, peternakan, dan perikanan).

Umbul Wadon dimanfaatkan sebagai sumber air minum bagi masyarakat setempat pada tahun 1992. Jaringan air minum ini dibangun sendiri oleh masyarakat. Tenaga gravitasi diandalkan untuk mengalirkan air ke warga sekitar.  Sebelum itu, air Umbul Wadon dialirkan oleh Tirta Marta ke Kota Yogyakarta sejak zaman Belanda.  Hingga masa kini, belum ada perusahaan yang mengambil air ke mata air ini.

Kemudian, banyak pipa-pipa terpasang disana. Ada tiga Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang mengambil air Umbul Wadon. Air tidak lagi meresap seluruhnya ke tanah. Air yang tersisa mengalir ke Sungai Kuning.

Perusahaan air minum pertama kali masuk pada tahun 1997. Pada tahun itu, PDAM Sleman mulai membangun jaringan pipa yang terhubung ke Umbul Wadon. Tahun ini menandai awal konflik rebutan air antara petani dan PDAM Sleman. Pada saat pipa mulai terpasang, penduduk di sekitar mata air tersebut tidak mengetahui pemilik proyek dan tujuan proyek pemasangan pipa tersebut. Belakangan, baru diketahui proyek pembangunan pipa itu milik PDAM Sleman.

Masyarakat melihat PDAM Sleman tidak melakukan komunikasi sama sekali menyangkut rencana pengambilan air tersebut. Padahal, masyarakat setempat sangat tergantung pada mata air tersebut untuk pertanian dan kebutuhan sehari-hari. Mestinya PDAM meminta izin terlebih dahulu kepada masyarakat setempat. Demikian pendapat masyarakat kala itu.  Merasa khawatir dengan masa depannya, ribuan petani kemudian melakukan aksi demo menolak proyek PDAM Sleman tersebut.

Reformasi 1998 turut memberi semangat bagi petani untuk melakukan demo yang cukup besar. Masyarakat setempat bukannya tidak memahami bahwa air tersebut juga dibutuhkan oleh pihak lain di bagian hilir. Hanya saja mata air tersebut terbatas. “Tidak bisa semuanya mau mengambil semuanya”, demikian diungkapkan warga sekitar.

Rencananya sebanyak 200 liter per detik air Umbul Wadon akan diambil untuk perusahaan daerah air minum. Pada Surat Keputusan (SK) Gubernur DIY Nomor 690/0935/1997 tentang Izin Pemanfaatan mata air Umbul Wadon dinyatakan, PDAM Sleman mendapat jatah air 110 liter/detik, PDAM Tirta Marta 75 liter/detik, serta Arga Jasa 15 liter/detik. Debit air Umbul Wadon saat itu sekitar 350 liter/detik. Artinya, sebesar 55 persen dari total debit air Umbul Wadon diambil untuk ketiga perusahaan daerah tersebut.

Masyarakat menuntut adanya proses konsultasi dan dipertimbangkan kepentingannya. Akademisi dari Universitas Gajah Mada turut dalam proses mendorong dilakukannya kajian AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) terlebih dahulu sebelum menentukan jumlah debit air yang boleh diambil oleh PDAM Sleman. Setelah melewati negosiasi yang panjang, perlunya kajian AMDAL disepakati oleh PDAM Sleman.

Dinas Pertambangan Kabupaten Sleman (kini beralih menjadi Dinas Pengairan, Pertambangan dan Pengendalian Bencana Alam atau PPBA) bersama dengan PT Sinca Mataram mengerjakan kajian AMDAL. Perlu waktu setahun untuk melihat fluktuasi debit air di musim kemarau dan hujan yang diamati selama satu tahun. Kajian AMDAL ini kemudian disepakati pada tanggal 11 Oktober 2000. Hasilnya, alokasi air untuk irigasi sebesar 50 persen, untuk air minum sebesar 35 persen, dan sisanya 15 persen untuk konservasi.

Petani menduga, kesepakatan dalam kajian AMDAL tersebut agaknya diam-diam dilanggar oleh PDAM Sleman. PDAM dikatkan telah “menyerobot” air melebihi yang ditentukan dalam AMDAL tahun 2000. Dugaan tersebut didasarkan atas adanya sejumlah pipa by-pass milik PDAM, yakni pipa yang tidak melewati alat ukur, yang tersambung ke mata air Umbul Wadon.

Dugaan petani ternyata benar. Dinas PPPBA Kabupaten Sleman yang melakukan pengukuran debit air Umbul Wadon pada Desember 2003 membuktikan hal itu. Dari pengukuran diketahui PDAM Sleman telah mengambil air sebanyak 192,50 liter/detik, PDAM Tirta Marta mengambil 42,30 liter/detik, Perusahaan Daerah Anindya 6,16 liter/detik, dan masyarakat 19,58 liter/detik. Sedangkan untuk irigasi hanya 98 liter/detik.

Menurut data tersebut, jumlah air yang dipakai perusahaan air minum milik Pemda Sleman dan Kota Yogyakarta tersebut mencapai 260,54 liter/detik atau 72,6 persen dari total debit air Umbul Wadon yang mencapai 358,54 liter/detik. Petani kemudian kembali berunjuk rasa pada bulan Mei 2004. Di tengah situasi ini, PDAM Sleman maupun Dinas PPPBA menolak memberikan keterangan terkait pengelolaan air di Umbul Wadon.

Di tengah polemik tersebut, munculah berita mengenai peresmian AMDK “Evita” di media massa. Masyarakat baru mengetahui bahwa ternyata PDAM Sleman memasok air untuk perusahaan air minum dalam kemasan tersebut. Tudingan komersialisasi air di atas kepentingan masyarakat banyak mencuat

kerusakan Hutan

Oleh:
Kemal Taruc-Ecolink

 

Sore hari, sebuah mobil Ford Ranger berwarna hitam, badan dan roda-rodanya diselimuti oleh lumpur dan tanah berwarna kuning kecoklatan, berhenti. A’am turun dari mobilnya kemudian berjalan memasuki garasi rumahnya, dengan ponsel yang masih menggantung di antara bahu kanan dan lehernya. Setelah mendengar pesan terakhir yang diterimanya.

 

Ponsel itu dimatikan. Pesan itu berujar, “Bertindaklah bijak, jangan mengguncang-guncang rumah sendiri, nanti akan terlalu banyak orang yang jatuh.” A’am melepaskan sepatunya, dan masuk ke dalam rumahnya.

Hari itu hari biasa, seperti hari-hari lainnya dimana ia melakukan perjalanan inspeksi ke hutan. Sebagai  Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten, ia telah melakukan banyak sekali inspeksi di wilayah kerjanya. Tetapi sekali ini, ia sangat terkejut ketika dengan mobil Ford barunya ia mencoba rute baru dengan mendaki sebuah bukit kecil, ia mendapati ada tumpukan kayu log setinggi 3 meter dan menutupi area seluas 3 kali luas area lapangan bola. Ia mengenali dengan pasti bahwa kayu-kayu log tersebut diambil dari tegakan tua hutan primer, dan hanya bisa datang dari satu sumber, hutan lindung Bukit Lumut. Satu-satunya hutan tropis yang masih utuh di kabupaten ini.
A’am tidak habis mengerti, mengapa perusahaan yang sudah sangat dikenalinya dan sudah membuka usaha di Kabupaten Wanaraja begitu lama, ternyata juga melakukan usaha ilegal -seperti begitu banyak usaha penebangan kayu lainnya di Indonesia- dengan menebang pohon dari hutan yang dilindungi. A’am begitu kecewa, ia merasa seperti ditusuk dari belakang. Ia seharusnya tahu, karena ia bertemu dengan pimpinan perusahaan secara teratur dan hal ini tidak pernah muncul dalam pembicaraan. “Apakah memang mereka harus melakukan kegiatan kriminal seperti ini untuk tetap hidup usahanya, dan lalu apa yang akan terjadi pada Wanaraja jika kegiatan seperti ini tetap berlangsung?” Wanaraja dikenali sebagai salah satu dari sedikit kabupaten yang masih memiliki hutan tropis primer di kawasan yang dilindungi. Kabupaten Wanaraja masih memiliki sepertiga dari hutan tropisnya yang asli. Kabupaten-kabupaten lain yang bersebelahan tidak ada lagi yang memiliki hutan yang telah habis ditebang pada jaman keemasan industri kayu pada tahun 1970-80an

“Ini harus dihentikan, tetapi bagaimana?” Ia tersenyum pahit. A’am tahu dengan pasti bahwa pesan di ponselnya adalah sangat serius. Ia harus bertindak “bijaksana”, karena begitu banyak nama besar yang terlibat. A’am menanggalkan sepatunya, membaringkan diri di kursi panjang dan menutup matanya. Pikirannya melayang, ia menyadari bahwa menjaga dan mengelola hutan bukanlah hal yang mudah dilakukan.

Penduduk Asli Penyayang Hutan

A’am dilahirkan dan dibesarkan dengan dikelilingi oleh rimba tropis. Setelah masa kanak-kanak di lingkungan hutan, ia melanjutkan sekolah menengahnya di ibukota propinsi, kemudian melanjutkan ke Fakultas Kehutanan di universitas negeri setempat. Gelar kesarjanaan diperolehnya pada tahun 1982, pada masa jaya industri perkayuan, sementara seruan-seruan peringatan dari pencinta lingkungan baru mulai terdengar.

Ayah A’am adalah pegawai pemerintah daerah Propinsi. Ia merupakan satu dari sedikit staf Pemda yang menguasai bahasa Belanda sehingga ia ditugaskan untuk mengelola arsip-arsip Propinsi, termasuk dokumen lama tentang budaya setempat yang ditulis dalam bahasa Belanda. Dengan latar belakang ayahnya tersebut, A’am dibesarkan dalam lingkungan yang relatif berbeda dengan anak­anak setempat yang lain. Ia mengetahui dari cerita-cerita ayahnya tentang kekayaan budaya setempat dan lingkungan dari pulaunya. Ia juga bertemu dengan banyak orang – ilmuwan terkemuka dan mahasiswa dari manca negara yang meneliti budaya setempat yang menemui ayahnya untuk membaca arsip peninggalan Belanda.

Pada jaman itu tidak banyak pejabat setempat yang bergelar sarjana. Kebanyakan dari pejabat berasal dari kelompok sosial yang sama, atau dari kota yang sama dan memiliki hubungan persaudaraan, atau belajar pada sekolah yang sama. Bagi A’am ini merupakan persoalan, karena akan menciptakan kesulitan untuk bekerja secara profesional dan adil. Begitu banyak godaan karena banyak yang meminta fasilitas pemerintah dalam melakukan usaha berdasarkan kekerabatan dan pertemanan. Pada waktu itu, tidak banyak usaha lain kecuali penebangan dan logging, yang hanya bisa dilakukan setelah mendapatkan ijin konsesi dari pemerintah. Setelah lisensi diperoleh, biasanya dikontrakkan atau “dijual” kepada kontraktor yang telah memiliki modal dan kemampuan untuk menjalankan bisnis perkayuan: modal kerja yang besar, peralatan berat dan kilang penggergajian serta jaringan pemasaran. Tanpa itu, lisensi hanyalah lembaran kertas saja.

Kebanyakan penduduk setempat tidak memiliki modal yang cukup, sementara pengusaha­pengusaha Tionghoa setempat yang memiliki kemitraan dengan perusahaan-perusahaan asing dari Malaysia, Korea Selatan atau Filipina, biasanya merekalah yang menjadi pengusaha yang menjalankan bisnis perkayuan. Demikian pula, perusahaan yang ditemukannya melakukan penebangan pada hutan lindung, adalah perusahaan Tionghoa setempat yang telah melakukan usaha di Propinsi lebih dari sepuluh tahun.

Karena itu, ketika A’am memperoleh tawaran untuk ditempatkan di Kabupaten yang bukan tempat kelahirannya, ia bersemangat untuk menerimanya. Ia berpikir bahwa akan jauh lebih mudah baginya untuk bekerja secara profesional dan tidak terbebani oleh hubungan kekerabatan. Di Wanaraja ia memulai karirnya sebagai pegawai setempat di Dinas Kehutanan untuk mengawasi kegiatan perusahaan penebangan kayu. Sudah menjadi bagian dari kehidupannya untuk melintasi rimba yang lebat dan tinggal di pos lapangan berhari-hari, atau tinggal di perkampungan penduduk asli di hutan. Bagi A’am, rimba tidak hanya tempatnya bekerja, tetapi juga kehidupannya dan budayanya. Ia menikah dengan putri kepala suku dari desa yang sering dikunjunginya. Dengan 2 anak, keluarganya tinggal di kota Kabupaten dengan sering mengunjungi kerabat keluarga yang tinggal di desa.

Tidak heran bahwa A’am sangat kecewa ketika ia telah agak terlambat untuk menyita kayu-kayu glondongan curian tersebut. Ia seharusnya telah mencegah, kalau saja ia tahu bahwa perusahaan itu melakukan penebangan di hutan lindung di Bukit Lumut di luar wilayah konsesi yang dimiliki perusahaan. Ia merasa sebagai kesalahannya, karena tidak memeriksa lebih jauh lagi. Dengan mobil barunya, ia sekarang dapat masuk lebih jauh lagi ke hutan untuk mencegah tindakan pencurian seperti itu. Akan tetapi, tanpa dukungan pejabat setempat yang lain, sebenarnya perusahaan itu tidak mungkin akan berani melakukannya. Dering telpon yang diterima A’am adalah bukti bahwa kepala Dinas yang melakukan pengawasan juga ikut serta “mendukung”. Dapat dimengerti, bahwa perusahaan itu tidak pernah memberitahukannya, karena hanya akan menimbulkan salah pengertian dan perseteruan di antara pejabat-pejabat setempat. Sementara pengusaha Tionghoa yang melakukan penebangan dengan mudah dapat menjadi kambing hitamnya.