Obama dan babak baru penyelesaian konflik Israel-Palestina

OBAMA menyaksikan langsung jabat tangan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di New York Amerika Serikat. Momen ini terjadi pada hari Selasa (22/09). Berbagai kalangan banyak yang menganggap jabat tangan dan pertemuan ketiga tokoh tersebut, sebagai sesuatu yang skeptis bagi masa depan perdamaian keduanya. Tapi ada sedikit harapan yang tersisa dari pertemuan keduanya. Paling tidak ada komitmen dari kedua belah pihak untuk berusaha menyelesaikan konflik yang sudah berlangsung hampir satu abad. Pertanyaan yang muncul adalah mungkinkah Obama bisa menekan Israel untuk memaksa negara itu berdamai dengan Palestina dengan memberikan kemerdekaan penuh pada Palestina?

Pidato Obama pada tanggal 4 Juni 2009, di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir disambut gembira oleh dunia Islam. Salah satu hal yang penting dari pidatonya adalah pernyataan komitmennya untuk menyelesaikan isu perdamaian Israel-Palestina secara adil. Dijanjikan kemerdekaan bagi Palestina yang akan hidup berdampingan dengan Israel.

Sejarah konflik
Membicarakan konflik Israel Palestina tidak bisa terlepas dari sejarah konflik keduanya. Sumber konflik keduanya berawal dari tanah Palestina yang dulunya disebut Kanaan yang saat ini masih diduduki Israel. Kedua bangsa ini sebenarnya masih bersaudara dan satu nenek moyang, yaitu sama-sama keturunan Nabi Ibrahim AS dari dua ibu yang berbeda. Hagar melahirkan Nabi Ismail AS yang menurunkn bangsa Arab. Sarah melahirkan Nabi Iskak AS yang menurunkan bangsa Israel melalui Nabi Yakub AS dan Nabi Yusuf AS.

Persoalan keduanya terus berlanjut dengan adanya campur tangan Inggris, yang menjanjikan tanah untuk bangsa Israel. Tahun 1917, dikeluarkanlah Deklarasi Balfour Kemudian Inggris menyerahkan persoalan keduanya ke PBB. Dalam sidang umum PBB pada tanggal 29 Nopember 1947 diadakan pemungutan suara yang menetapkan atau mengakui adanya dua negara, yaitu Yahudi dan Arab Palestina dengan batas-batas daerah tertentu yang tercantum dalam United Nation Partition Plan 1947.

Rencana ini diterima oleh Israel, dan Palestina menolak dengan menghancurkan pemukiman Yahudi. Kekacauan tidak terhindarkan dan Inggris meninggalkan keduanya tanpa tanggung jawab. Pada saat itulah Israel menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 14 Mei 1948. Pernyataan kemerdekaan ini diakui oleh AS, Uni Soviet, dan negara lainnya. Uni Soviet sangat berharap kalau Israel bisa menjadi negara komunis. Sebaliknya bangsa Arab Palestina dan seluruh bangsa Arab menentang pernyataan kemerdekaan Israel. Akhirnya pada tanggal 15 Mei 1948 negara Libanon, Irak, Arab Saudi, Suriah, Jordania, dan Mesir menyerbu Israel dari segala arah.

Dari sejarah konflik keduanya, tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Amerika Serikat, khususnya dalam proses penyelesaian konflik keduanya. Terkadang tindakan AS juga menyakitkan bagi bangsa Palestina. Misalnya saja AS membiarkan dua kali agresi Israel ke Palestina. Pertama, agresi tahun 2002 untuk membungkam gerakan intifadah Palestina ke-2 yang berujung pada kematian pemimpin Palestina Yasser Arafat. Kedua, menutup mata terhadap agresi Israel ke Jalur Gaza pada akhir Desember 2008 hingga pertengahan Januari 2009 sebagai hadiah perpisahan pemerintahan Bush dengan Israel. Dunia Islam juga sangat dikecewakan oleh dukungan AS terhadap agresi Israel ke Selatan Lebanon pada tahun 2006 untuk menghancurkan Hezbullah yang menyebabkan kerusakan berat atas infrastruktur dan kematian penduduk sipil yang banyak.

Diplomasi Obama
Kendati campur tangan AS tidak bisa dihindarkan, proses perdamaian tetap diupayakan. Dalam menyikapi pernyataan Obama, dunia Islam, khususnya negara-negara Arab sangat hati-hati. Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu: pertama, standar ganda AS selama ini terhadap dunia Arab dalam konteks hubungan Arab-Israel. Selama ini washington selalu mendukung Israel tiap kali negara itu berkonflik dengan negara Arab. Kedua, kompleksnya masalah konflik Israel-Palestina.

Obama mewarisi masalah yang sangat kompleks dari pemerintahan Bush. Kerusakan hubungan ASDunia Islam yang sudah parah ingin diperbaiki oleh Obama. Ia memang melihat ada ketidakadilan AS terhadap Arab dan dunia Islam dalam konteks konflik Arab-Israel. Israel selalu diuntungkan sehingga perdamaiannya dengan Arab sulit diwujudkan. Artinya Israel selalu bersikap kaku terhadap proses perdamaian dan sering melanggar perjanjianperjanjiannya yang dibuat sendiri dengan Palestina karena selalu mendapat dukungan AS.

Obama ingin merubah citra buruk itu. Dan sejauh ini ia masih konsisten melaksanakan visinya mendamaikan Israel-Palestina. Misalnya ia menentang pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina di Tepi Barat. Ia juga menolak konsep perdamaian yang dibuat pemerintah PM Israel yang mengunjungi gedung putih karena proposal itu tidak membuat Palestina berdaulat di atas tanahnya sendiri.

Inisiatif Obama untuk mempertemukan pihak Israel dan Palestina, mengalami kebuntuan karena kedua pihak bersikukuh dengan pendapatnya. Sekali lagi belum sempat ke meja perundingan, proses perdamaian sudah macet. Ada dua hal yang menyebabkan kemacetan proses perdamian ini yaitu: pertama, pemerintahan Netanyahu tidak bersedia memerdekakan Palestina. Dalam konsep perdamaian yang dibuatnya, yang telah ditolak Arab maupun AS, antara lain berisi butir-butir yang merugikan Palestina. Misalnya, Palestina tidak boleh memiliki angkatan bersenjata, ruang udara Palestina sepenuhnya di bawah kontrol Israel. Demikian juga dengan perbatasan Israel-Palestina. Palestina tidak diperbolehkan mengembalikan tiga juta lebih pengungsi yang tersebar di Jalur Gaza, Yordania, Suriah, Lebanon dan banyak negara lain, ke rumah mereka di Israel dan Yerussalem Timur. Ini tentunya bukan konsep perdamaian yang diinginkan oleh Palestina dan tidak sesuai dengan konsep perdamaian kuartet (AS, UK, PBB, Rusia) serta rekomendasi Arab. Palestina merdeka adalah Palestina yang berdaulat penuh atas negaranya.

Kedua, masalah internal Palestina. Palestina terbelah menjadi dua wilayah dan entitas politik. Tepi barat dikuasai oleh nasionalis, sekuler, dan kompromistis demi tercapainya perdamaian dengan Israel dan Hamas yang militan, Islamis, dan menolak mengakui eksistensi Israel yang berkedudukan di Jalur Gaza. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendamaikan kedua belah pihak. Pada 8 Pebruari 2007, melalui mediasi Arab Saudi, Hamas dan Fatah setuju untuk membentuk pemerintahan nasional. Namun pemerintahan ini tidak bisa berjalan dengan baik karena perbedaan ideologi keduanya serta perebutan penguasaan sektor keamanan. Hamas yang memenangkan pemilu Palestina pada tahun 2006 menganggap wajar bila ia menguasai sektor keamanan ini, sementara pihak Fatah khawatir bahwa penguasaan Hamas atas aparat keamanan Palestina hanya akan menjadikan Palestina sebagai sasaran agresi Israel berhubung Hamas akan melakukan aksi-aksi bersenjata melawan negara Yahudi itu, yang tidak diakui eksistensinya.

AS dan Israel sendiri ikut memecah belah pemerintahan Persatuan Nasional Palestina yang mengakui eksistensi Hamas yang dituduh AS dan Israel sebagai kelompok teroris. Kalau pemerintah AS konsisten dengan prinsip-prinsip demokrasi, seharusnya pemerintahan Persatuan Nasional Palestina ini didukung. Memang sangat pelik membicarakan konflik Israel Palestina. Babak baru penyelesaian akan tetap ada, selama kedua belah pihak mau berusaha dan tidak saling ngotot, dengan pembenaran yang diyakininya.

Indonesia dan Konflik Timur Tengah

Indonesia melalukan langkah proaktif menyelesaikan konflik Timur Tengah. Apa yang seharusnya dilakukan agar Indonesia punya wibawa di mata asing?

Oleh: M. Syamsi Ali *)

Akhir-akhir ini kita dengar bahwa pemerintah Indonesia akan lebih proaktif dalam melakukan langkah-langkah untuk menyelesaikan berbagai konflik Timur Tengah. Mulai dari konflik antara Palestina-Israel, konflik internal pemerintahan Palestina antara Hamas dan Fatah, konflik Iraq dengan berbagai dimensinya, hingga upaya mempertemukan antara kelompok-kelompok pemimpin Sunni dan Syi’ah.

Langkah ini tentunya tidak saja sangat menggembIraqan, tapi juga membanggakan dan seharusnya memang demikian. Menggembirakan karena memang konflik Timur Tengah sudah memakan waktu terlalu lama, parah dan telah memakan korban yang luar biasa. Mungkin ini adalah langkah besar yang dilakukan oleh sebuah negara Muslim besar untuk meringankan beban berat umat yang hidup di belahan dunia itu.

Membanggakan, karena Indonesia adalah negara besar, ditilik dari berbagai sudut, baik secara teritorial, sumber daya alam, penduduk (SDM). Tapi tentunya, secara khusus lagi, Indonesia tentu bangga karena negara ini berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Maka, ketika Indonesia proaktif melakukan langkah-langkah upaya perdamaian di Timur Tengah, maka akan menambah kebanggaan bangsa ini.

Dan seharusnya memang demikian, karena bangsa dan negara ini memang memiliki filsafatnya sendiri, yaitu melihat kezaliman/penjajaha n sebagai musuh bersama dan harus diperangi/dielimini r, sesuai amanah UUD negara RI. Selain itu, sebagaimana diamanahkan oleh UUD 45, negara Indonesia memang harus proaktif dalam mewujudkan perdamaian dunia.

Islam dan dunia global

Tragedi 11 September 2001 telah mengubah konstalasi dunia dan hubungan internasional. Hubungan internasional tidak lagi didasarkan kepada faktor-faktor kekuatan politik, ekonomi dan militer, tapi telah diimbangi oleh faktor-faktor lain, termasuk faktor agama.

Serangan 11 September, yang kini cenderung dikultuskan sebagai “historical event” (kejadian bersejarah) yang perlu dikenang, dan bahkan menjadi titik awal dari berbagai fenomena dunia global saat ini, diakui atau tidak, telah menjadikan Islam dan pemeluknya lebih dikenal/diakui oleh dunia. Tentu pengenalan/pengakua n ini memiliki dua dimensi, positif dan negatif, tergantung siapa yang mengakui dan dari sudut mana pengakuan tersebut.

Dihubungkannya antara serangan terorisme 11 September 2001 dan Islam/pemeluk Islam menjadikan mata dunia terbelalak memandang dunia Islam. Islam, apakah dengan pandangan positif atau negatif, dilihat sebagai sebuah kekuatan baru yang menentukan arah perjalanan dunia global. Terorisme, yang oleh sebagian disamarkan sebagai “Islam” adalah kekuatan yang telah merubah drastis wajah hubungan antar negara. Maka, dengan sendirinya harapan kepada dunia Islam untuk melakukan sesuatu dalam rangka menghadapi apa yang dikumandangkan sebagai “musuh bersama” (terorisme) sangat besar.

Dunia Arab

Selama ini, karena letak geografisnya yang langsung bertetanggan dengan pusat konflik (baca: Palestina-Israel) , negara-negara Arab, khususnya Mesir, Jordan dan Saudi Arabia memiliki peranan penting di mata dunia, khususnya Amerika dan sekutunya. Selain itu, tentunya karena memang ada kepentingan ekonomi dunia Barat khususnya (baca: minyak) menjadikan mereka selalu mengedepankan negara-negara Arab sebagai sekutu dalam upaya penyelesaian konflik Timur Tengah.

Kini, harapan itu barangkali tidak terlalu besar lagi, tentu karena alasan-alasan yang kuat pula, antara lain sebagai berikut:

Pertama, karena dari sekian banyak oknum-oknum yang tertuduh teroris, khususnya dalam serangan WTC New York, mayoritasnya adalah berwarga negara Arab. Jadi ada semacam “keraguan” jika negara-negara Arab akan mampu menyelesaikan permasalahan krusial ini. Ibaratnya, penyakit tidak akan bisa disembuhkan oleh orang yang memiliki penyakit yang sama. Atau air kotor tidak akan bisa dipakai untuk membersihkan kotoran yang sama.

Kedua, adanya kepentingan- kepentingan masing-masing negara Arab dengan konflik-konflik yang terjadi. Sebagai misal, Saudi Arabia sangat mengkhawatirkan pengaruh Iran (baca: Syiah) di Iraq, yang nantinya akan mempengaruhi stabilitas keamanan Saudi sebagai negara yang “merasa mewakili” dunia Islam yang berpaham Sunni. Melibatkan Saudi secara langsung akan semakin membangkitkan amarah kaum Syiah dan menjustify pengaruh Iran di Iraq. Sementara di sisi lain tidak mungkin Iran dilibatkan karena terlanjur dianggap salah satu negara poros syetan (seiman dengan Iraq di masa Saddam dan Korea Utara).

Ketiga, salah satu alasan penyerangan Amerika Serikat dan sekutunya ke Iraq adalah misi demokratisasi. Artinya, penyerangan terhadap negara berdaulat Iraq, selain alasan keamanan dunia karena ancaman senjata kimia (terlah terbukti salah), menghukum Saddam yang telah melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia (membumis hanguskan kaum Kurdi), juga untuk menda’wahkan sistem demokrasi di Iraq sebagai batu loncatan bagi penyebaran demokrasi ke dunia Arab secara keseluruhan. Hingga kini, Presiden Bush masih menggembor-gemborka n alasan ketiga sebagai alasan terakhir untuk membenarkan serangan ke Iraq itu.

Maka, untuk melibatkan negara-negara Arab dalam proses penyelesaian konflik-konflik Timur Tengah, nampaknya mustahil. Masalahnya adalah tidak mungkin negara-negara Arab itu akan serius menyelesaikan konflik-konflik Timur Tengah, jika kepentingan- kepentingan penguasa itu pada akhirnya terancam. Demokratisasi dan keterbukaan di Iraq akan banyak mempengaruhi cara berfikirnya orang-orang di negara lain seperti Saudi, Bahrain, Kuwait, Imarat, Mesir, dll., yang pada akhirnya akan menularkan pergerakan “kemerdekaan internal” membebaskan mereka dari bentuk-bentuk pemerintahan yang tidak demokratis.

Di sinilah kemudian, khususnya setelah serangan 11 September itu, aktor-aktor utama dunia internasional melirik Indonesia sebagai partner alternatif dalam menghadapi berbagai permasalahan dunia, khususnya upaya penyelesaian berbagai konflik di Timur Tengah. Untuk peperangan terhadap terorisme, barangkali karena letak geografis dan “nature” penduduknya, Pakistan akan lebih banyak memainkan peranan. Tapi untuk permasalahan Timur Tengah, nampaknya Indonesia menjadi harapan besar. Tentunya karena beberapa alasan, antara lain:

Kenyataannya bahwa Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Jika saja semua penduduk negara-negara Arab disatukan, Muslim Indonesia masih saja lebih besar ketimbang mereka. Suara Indonesia akan banyak dianggap sebagai suara mayoritas dunia Islam.

Walau ada kasus-kasus terorisme yang terjadi di Indonesia, kenyataannya Indonesia masih dianggap negara Muslim moderat dan bersahabat. Tapi yang lebih penting, pemerintah Indonesia jauh lebih lincah dalam menyelesaikan kasus terorisme ketimbang banyak negara. Buktinya, hanya berselang beberapa pekan, pelaku bom Bali telah tertangkap dan kini telah diproses secara hukum. Berbeda dengan negara lain yang masih berjuang menangkap pelaku-pelaku terorisme yang mereka kejar. Sebaliknya, mereka terkadang melakukan penangkapan tapi kemudian tidak mampu membuktikan.

Sejarah membuktikan bahwa Indonesia telah menunjukkan dirinya sebagai negara yang aktif dalam berbagai forum internasional, antara lain, memprakarsai Konferensi Bandung atau yang lebih dikenal dengan Konferensi Asia-Afrika yang menjadi cikal bakal berdirinya negara-negara non-blok (Non Align Movement). Indonesia juga menjadi salah satu penggerak utama berdirinya Organisasi Konferensi Islam. Tentunya, jangan lupa kedudukan Indonesia dalam konteks negara-negara Asean.

Indonesia telah membuktikan peranannya yang besar dalam upaya penyelesaian konflik di berbagai belahan dunia. Mungkin bukti yang paling nyata dalam hal ini adalah penyelesaian konflik di Filipina Selatan antara Pemerintah pusat dan Gerakan Kemerdekaan Filipina Selatan di bawah komando Nur Miswari. Jangan lupa pula keterlibatan Indonesia di berbagai “peace keeping operations”, termasuk di Bosnia ketika itu dan kini di Lebanon Selatan.

Kepercayaan Dunia Internasional

Semua alasan di atas menjadikan Indonesia memiliki posisi terhormat di dunia internasional, khususnya di dunia ketiga dan lebih khusus lagi di dunia Islam. Maka, jangan heran jika saat ini Indonesia telah terpilih menduduki berbagai posisi di organisasi dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, antara lain sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan anggota Human Rights Council.

Kepercayaan dunia internasional ini tentunya tidak saja didasarkan kepada sejarah perjalanan panjang bangsa dan negara ini. Tapi yang lebih penting bahwa Indonesia telah mampu membuktikan diri sebagai negara berpenduduk besar keempat di dunia dengan penduduk Muslim terbesar, tapi mampu mendemokratisasi diri secara mulus dan berhasil. Keberhasilan ini membuat banyak pihak menganga hampir tidak percaya. Pertama, karena Islam sudah dipersepsikan sebagai agama yang kontra-demokrasi. Kedua, karena Indonesia sangat lama berada di bawah pemerintahan otoriterian, yang pada lazimnya akan berakhir dengan pertumpahan darah.

Sejarah dan fakta masa kini, keduanya menjadi landasan harapan dunia internasional terhadap Indonesia untuk lebih proaktif dalam melakukan langkah-langkah dalam upaya menyelesaikan konflik-konflik Timur Tengah. Kita tentunya yakin, keterlibatan Indonesia ini akan memberikan makna tersendiri bagi negara dan bangsa kita. Tapi jangan lupa, perjuangan “keluar” hanya akan berhasil jika dibarengi dengan perjuangan ke “dalam”. Pencitraan keluar tidak akan positif jika citra dalam negeri belum menunjukkan hal-hal yang positif.

Pemerintahan yang bersih, penegakan hukum, penegakan hak-hak asasi, kebebasan ekpresi dan bicara (tapi bertanggung jawab), dan tentunya yang lebih penting adalah upaya-upaya serius untuk memakmurkan rakyat itu sendiri akan banyak menentukan wajah Indonesia di luar negeri. Peranan Indonesia di luar negeri akan dihormati dan dihargai jika usaha-usaha proaktif dan profesional dalam mewujudkan penyelesaian konflik didasarkan kepada “wajah Indonesia” yang memang terhormat dan membanggakan.

Saya jadi teringat sebuah kejadian sekitar pertengahan 1996 silam. Saat itu Prof. Dr. Habibie selaku Menteri Riset dan Teknologi melakukan presentasi di Jeddah kepada para pebisnis Arab Saudi mengenai proyek pesawat terbang yang dirintisnya. Berbagai pertanyaan dijawab secara tuntas, kecuali dua: Pertama, kalau Indonesia demikian maju dalam proyek-proyek teknologi, kenapa masih berkeliaran warga Indonesia mencari kerjaan di Arab Saudi? Kedua, apa proyek ini nantinya tidak akan terjatuh ke dalam kungkungan tangan-tangan koruptor?

Menanggapi pertanyaan itu, pak Habibie tersenyum sinis sambil membelalakkan bola matanya sambil menengok kiri kanan.

Saya juga khawatir, perjuangan ke luar untuk menaikkan citra dan meninggikan nama dan peranan, pada akhirnya akan sia-sia karena tidak/kurang dibarengi oleh kesungguhan untuk membenahi diri dalam negeri.

Jika ini terjadi, kita akan menjadi objek pepatah Arab: “Faaqidu as-Syaei laa yu’thi” (seseorang yang tidak memiliki apa-apa, tidak akan memberi apa-apa). Atau mungkin yang lebih berbahaya adalah: “lima taquuluuna ma laa taf’aluun” (kenapa kamu mengatakan apa-apa yang kamu tidak lakukan?). Semoga tidak!.

penyelesaian konflik malaysian dan indonesia

Dimulai dengan konfrontasi Indonesia-Malaysia yang berawal dari perang mengenai Kalimantan Utara antara kedua negara pada 1962-1966. Perang ini berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada 1961.

Keinginan itu ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai “boneka” Inggris dan kekuatan barat. TNI sempat menyeruak masuk dan menyerang Malaysia.

Namun, perlawanan Proklamator RI terhadap kekuatan barat tersebut tidak berlangsung lama, karena hanya berselang 5 tahun yakni pada 1966, kekuasaannya akhirnya digulingkan. Presiden Soeharto yang kemudian menggantikan dan memimpin Indonesia berhasil meredam konflik yang terjadi.

Dalam sebuah pertemuan di Bangkok pada 28 Mei 1966, kedua negara mengumumkan langkah-langkah penyelesaian konflik. Selanjutnya, fase booming minyak yang terjadi membuat negara-negara tetangga memandang tinggi Indonesia, apalagi ditambah dengan keberhasilan meraih pertumbuhan ekonomi tertinggi di ASEAN mencapai angka di atas 10%, membuat tidak banyak yang berani mengusik bumi pertiwi.

Sayangnya, pengelolaan perekonomian negara yang amburadul membuat pembangunan yang telah dicapai mengalami setback. Beban utang yang tidak dikelola dengan baik akhirnya menjerat dan membuat kondisi bangsa terpuruk. Setelah era reformasi, berbagai masalah yang sebelumnya tidak banyak terekspose, terus bermunculan.

Untuk menanggulanginya, pemerintah kedua negara bahkan sepakat membentuk EPG (eminent persons group). Kelompok yang berisikan tokoh-tokoh sepuh kedua negara bertujuan menjaga hubungan baik RI-Malaysia. Namun pemahaman terhadap akar permasalahan yang sebenarnya terjadi, membuat proses mencari solusi tersebut ibarat menegakkan benang basah.

pkn 1

Latar belakang

Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Britania Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia.

Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.

Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.

Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia apabila mayoritas di daerah yang ribut memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris.

Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul RahmanPerdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesian yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[1] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia. Soekarno memproklamirkan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato beliau yang amat bersejarah, berikut ini:

Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo…ayoo… kita… Ganjang…
Ganjang… Malaysia
Ganjang… Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!

Soekarno.

Perang

Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:

  • Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
  • Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia

Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-“ganyang Malaysia”. Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia.

Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.

Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.

Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil.

Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.

Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi 2006).

Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan ditangkap oleh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan bakinya ditangkap oleh Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.

Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.

Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 1022 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.

Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.

Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.

Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Sampurna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Pasukan Indonesia mundur dan tidak penah menginjakkan kaki lagi di bumi Malaysia. Peristiwa ini dikenal dengan “Pengepungan 68 Hari” oleh warga Malaysia.

[sunting] Akhir konfrontasi

Menjelang akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya G30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.

Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.