Studi kasus II

Kemelut di Lereng Merapi
Oleh:P.Radja Siregar-peneliti lepas

 

ImageSetelah ramai diberitakan media massa sepanjang bulan Mei dan Juni 2004, Bupati Sleman Ibnu Subianto akhirnya membuat keputusan menghentikan sementara pasokan air untuk AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) merek “Evita”. Keputusan tersebut meredakan amarah petani yang sejak tahun 1997 terlibat konflk rebutan air dengan PDAM Sleman. Namun Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Hamengku Buwono X, punya pendapat berbeda. Keputusan tersebut dipandang memberikan ketidakpastian usaha di DIY.
Pada bulan Mei 2004, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Sleman dan dua PDAM dari Kota Yogyakarta mencopot pipa-pipa air by-pass,  yaitu sambungan yang dipasang tanpa melalui alat ukur. Para petani menuding, ketiga perusahaan air bersih tersebut telah mencuri air Umbul Wadon melalui pipa-pipa by-pass tersebut. .

 

Keputusan tersebut merupakan jawaban atas aksi protes yang digelar ratusan petani dari Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Para petani di lereng Gunung Merapi mengancam akan merusak jaringan pipa air bersih milik PDAM Sleman karena menduaga keras bahwa BUMD tersebut telah mengambil air melebihi yang dijatahkan. Pengukuran debit air Umbul Wadon oleh Dinas Pengairan, Pertambangan dan Penganggulangan Bencana Alam (PPBA) Kabupaten Sleman pada bulan Desember 2003, mempertegas dugaan tersebut.

Ketiga perusahaan air minum tersebut di atas telah menyedot sebanyak 72,6 persen dari total debit air Umbul Wadon.  Menurut dokumen AMDAL pemanfaatan air Umbul Wadon pada tahun 2000 mengalokasikan air minum hanya sebesar 35 persen. Selebihnya, 50 persen untuk irigasi dan 5 persen untuk konservasi.  Akibatnya, selama tiga tahun terakhir petani di daerah sekitarnya mulai kesulitan air.

Kemarahan petani memuncak kala mengetahui PDAM Sleman juga menjual air dari Umbul Wadon ke perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) merek “Evita”.  Praktek yang telah berlangsung lama ini tidak diketahui oleh petani dan masyarakat Sleman.  Peresmian pabrik air minum tersebut oleh Gubernur DI Y Hamengku Buwono X, pada akhir bulan Mei 2004, menguak praktek komersialisasi air tersebut.

Oleh beberapa media massa terbitan Jakarta dan Yogyakarta, Gubernur DIY dinilai cenderung mengarah pada kebijakan yang memenangkan kapitalisme dan memarginalisasi wong cilik. Pasalnya, peresmian perusahaan AMDK itu berlangsung di tengah para petani Sleman sedang mengeluhkan kesulitan air untuk irigasi dan keperluan sehari-hari.

Gubernur DIY memberikan tanggapannya lewat  surat terbuka pada harian Radar Jogja (22/6/ 04). Bahwa kehadirannya selaku gubernur dalam peresmian AMDK milik PT.Envirotama Artha itu karena semua persyaratan yang dilampirkan dalam undangan sudah memenuhi kelengkapan, kelayakan,dan sah secara hukum.

Lewat surat terbuka itu gubernur mengkritik Pemerintah Kabupaten Sleman dan menyayangkan Pemkab Sleman yang dengan mudah memberikan izin pendirian AMDK Evita, dan memberikan pasokan air, tetapi dengan mudah pula menghentikan suplai air. Yang terjadi di Sleman, menurut gubernur, bisa memberikan ketidak-pastian usaha di DIY.

Saling tuding memang terjadi antara Pemprop DIY dan Pemkab Sleman. Kepada DPRD Kabupaten Sleman, Bupati Sleman menyatakan investasi tersebut berlangsung melalui Pemerintah Propinsi. Menurutnya, Kabupaten Sleman hanya dilangkahi. Pejabat Pemda Sleman sendiri tidak mau menjawab langsung pertanyaan media massa seputar kasus tersebut.

Bupati menegaskan bahwa langkah yang ditempuhnya, termasuk halnya permasalahan “Evita” , didasarkan pada pertimbangan kepentingan publik dan demi kesejahteraan masyarakat Sleman. Untuk selanjutnya “Evita” akan dimasukkan dalam pola realokasi dari sistem sumberdaya air di Kabupaten Sleman secara keseluruhan. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, dalam waktu dekat bupati akan memutuskan penataan alokasi sumber daya air di Kabupaten Sleman.

Masyarakat Sleman dan akademisi di daerah tersebut sebelumnya tidak mengetahui sama sekali mengenai perusahaan AMDK itu. Harry Supriyono, peneliti di Pusat Studi Lingkungan UGM baru mendengar tentang “Evita” setelah kasus tersebut mencuat. Padahal dirinya merupakan salah seorang anggota Komisi AMDAL Kabupaten Sleman mewakili akademisi.

Dokumen pengajuan perizinan “Evita” tidak masuk ke instansi lingkungan. Dokumen ini merupakan syarat untuk perusahaan yang memiliki dampak pada lingkungan. Untuk perusahaan yang memanfaatkan air lebih dari 50 liter/detik, maka wajib memenuhi kajian AMDAL. Bagi yang mengambil air kurang dari 50 liter/detik cukup melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan/Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL). “Evita” tidak memiliki satu diantaranya, yang berarti perusahaan tersebut mestinya tidak memiliki izin.  Belakangan diketahui, selain “Evita” terdapat dua perusahaan AMDK lainnya yakni “Qannat” dan “Arbass”. Keduanya belum memenuhi syarat pembuatan UKL/UPL.

Keputusan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman memberikan pasokan air dinilai keterlaluan. Ketersediaan air untuk irigasi petani Sleman maupun untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat saat itu tidak terpenuhi seluruhnya. PDAM Sleman juga mengalami defisit air baku. Diberikannya pasokan air pada industri AMDK memperparah keadaan.

Pengambilan Air Umbul Wadon

Mata air Umbul Wadon terletak di di Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Awalnya ada dua mata air di desa ini, yang satunya diberi nama Umbul Lanang. Kedua mata air ini disebut penduduk sekitar sebagai Umbul Manten.  Namun karena kondsi lingkungan yang makin merosot, mata air Umbul Lanang tidak lagi mengeluarkan air sejak beberapa tahun lalu.

Menurut catatan Pemekab Sleman tahun 1979, di kabupaten ini terdapat 102 mata air. Rata-rata ada dua atau tiga mata air di setiap desa.  Sekarang, kenyataannya berbeda. Ratusan mata air itu sebagian besar sudah mati. Yang tersisa hanyalah mata air Umbul Wadon, Bebeng, dan mata-mata air kecil lainnya. Umbul Wadon adalah satu-satunya mata air yang bisa diandalkan untuk kebutuhan air bersih penduduk Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.

Air dari Umbul Wadon mengalir ke Sungai Kuning. Selain itu, mata air juga mengalir ke mana-mana, meresap ke tanah mengisi sumur-sumur penduduk.  Lewat Sungai Kuning, petani di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul menggunakannya untuk irigasi pertanian. Air ini juga digunakan untuk menunjang usaha peternakan sapi perah dan pariwisata kawasan Kali Kuning.

Debit air Umbul Wadon cukup besar. Menurut hasil pengukuran Dinas Pengairan Kabupaten Sleman dan Pemda DI Y mata air ini mampu mengalirkan air sebesar 355-400 liter per detik pada musim kemarau dan 600 liter per detik pada musim hujan.  Debit air sebesar itu memenuhi seluruh kebutuhan air ribuan penduduk yang berdomisili di belasan desa sekitar lereng selatan Merapi yang mencakup empat kecamatan yaitu Cangkringan, Pakem, Ngemplak, dan Ngaglik. Pada awalnya air tersebut cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk pertanian (padi sawah, peternakan, dan perikanan).

Umbul Wadon dimanfaatkan sebagai sumber air minum bagi masyarakat setempat pada tahun 1992. Jaringan air minum ini dibangun sendiri oleh masyarakat. Tenaga gravitasi diandalkan untuk mengalirkan air ke warga sekitar.  Sebelum itu, air Umbul Wadon dialirkan oleh Tirta Marta ke Kota Yogyakarta sejak zaman Belanda.  Hingga masa kini, belum ada perusahaan yang mengambil air ke mata air ini.

Kemudian, banyak pipa-pipa terpasang disana. Ada tiga Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang mengambil air Umbul Wadon. Air tidak lagi meresap seluruhnya ke tanah. Air yang tersisa mengalir ke Sungai Kuning.

Perusahaan air minum pertama kali masuk pada tahun 1997. Pada tahun itu, PDAM Sleman mulai membangun jaringan pipa yang terhubung ke Umbul Wadon. Tahun ini menandai awal konflik rebutan air antara petani dan PDAM Sleman. Pada saat pipa mulai terpasang, penduduk di sekitar mata air tersebut tidak mengetahui pemilik proyek dan tujuan proyek pemasangan pipa tersebut. Belakangan, baru diketahui proyek pembangunan pipa itu milik PDAM Sleman.

Masyarakat melihat PDAM Sleman tidak melakukan komunikasi sama sekali menyangkut rencana pengambilan air tersebut. Padahal, masyarakat setempat sangat tergantung pada mata air tersebut untuk pertanian dan kebutuhan sehari-hari. Mestinya PDAM meminta izin terlebih dahulu kepada masyarakat setempat. Demikian pendapat masyarakat kala itu.  Merasa khawatir dengan masa depannya, ribuan petani kemudian melakukan aksi demo menolak proyek PDAM Sleman tersebut.

Reformasi 1998 turut memberi semangat bagi petani untuk melakukan demo yang cukup besar. Masyarakat setempat bukannya tidak memahami bahwa air tersebut juga dibutuhkan oleh pihak lain di bagian hilir. Hanya saja mata air tersebut terbatas. “Tidak bisa semuanya mau mengambil semuanya”, demikian diungkapkan warga sekitar.

Rencananya sebanyak 200 liter per detik air Umbul Wadon akan diambil untuk perusahaan daerah air minum. Pada Surat Keputusan (SK) Gubernur DIY Nomor 690/0935/1997 tentang Izin Pemanfaatan mata air Umbul Wadon dinyatakan, PDAM Sleman mendapat jatah air 110 liter/detik, PDAM Tirta Marta 75 liter/detik, serta Arga Jasa 15 liter/detik. Debit air Umbul Wadon saat itu sekitar 350 liter/detik. Artinya, sebesar 55 persen dari total debit air Umbul Wadon diambil untuk ketiga perusahaan daerah tersebut.

Masyarakat menuntut adanya proses konsultasi dan dipertimbangkan kepentingannya. Akademisi dari Universitas Gajah Mada turut dalam proses mendorong dilakukannya kajian AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) terlebih dahulu sebelum menentukan jumlah debit air yang boleh diambil oleh PDAM Sleman. Setelah melewati negosiasi yang panjang, perlunya kajian AMDAL disepakati oleh PDAM Sleman.

Dinas Pertambangan Kabupaten Sleman (kini beralih menjadi Dinas Pengairan, Pertambangan dan Pengendalian Bencana Alam atau PPBA) bersama dengan PT Sinca Mataram mengerjakan kajian AMDAL. Perlu waktu setahun untuk melihat fluktuasi debit air di musim kemarau dan hujan yang diamati selama satu tahun. Kajian AMDAL ini kemudian disepakati pada tanggal 11 Oktober 2000. Hasilnya, alokasi air untuk irigasi sebesar 50 persen, untuk air minum sebesar 35 persen, dan sisanya 15 persen untuk konservasi.

Petani menduga, kesepakatan dalam kajian AMDAL tersebut agaknya diam-diam dilanggar oleh PDAM Sleman. PDAM dikatkan telah “menyerobot” air melebihi yang ditentukan dalam AMDAL tahun 2000. Dugaan tersebut didasarkan atas adanya sejumlah pipa by-pass milik PDAM, yakni pipa yang tidak melewati alat ukur, yang tersambung ke mata air Umbul Wadon.

Dugaan petani ternyata benar. Dinas PPPBA Kabupaten Sleman yang melakukan pengukuran debit air Umbul Wadon pada Desember 2003 membuktikan hal itu. Dari pengukuran diketahui PDAM Sleman telah mengambil air sebanyak 192,50 liter/detik, PDAM Tirta Marta mengambil 42,30 liter/detik, Perusahaan Daerah Anindya 6,16 liter/detik, dan masyarakat 19,58 liter/detik. Sedangkan untuk irigasi hanya 98 liter/detik.

Menurut data tersebut, jumlah air yang dipakai perusahaan air minum milik Pemda Sleman dan Kota Yogyakarta tersebut mencapai 260,54 liter/detik atau 72,6 persen dari total debit air Umbul Wadon yang mencapai 358,54 liter/detik. Petani kemudian kembali berunjuk rasa pada bulan Mei 2004. Di tengah situasi ini, PDAM Sleman maupun Dinas PPPBA menolak memberikan keterangan terkait pengelolaan air di Umbul Wadon.

Di tengah polemik tersebut, munculah berita mengenai peresmian AMDK “Evita” di media massa. Masyarakat baru mengetahui bahwa ternyata PDAM Sleman memasok air untuk perusahaan air minum dalam kemasan tersebut. Tudingan komersialisasi air di atas kepentingan masyarakat banyak mencuat

Tinggalkan komentar

Belum ada komentar.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar