Indonesia dan Konflik Timur Tengah

Indonesia melalukan langkah proaktif menyelesaikan konflik Timur Tengah. Apa yang seharusnya dilakukan agar Indonesia punya wibawa di mata asing?

Oleh: M. Syamsi Ali *)

Akhir-akhir ini kita dengar bahwa pemerintah Indonesia akan lebih proaktif dalam melakukan langkah-langkah untuk menyelesaikan berbagai konflik Timur Tengah. Mulai dari konflik antara Palestina-Israel, konflik internal pemerintahan Palestina antara Hamas dan Fatah, konflik Iraq dengan berbagai dimensinya, hingga upaya mempertemukan antara kelompok-kelompok pemimpin Sunni dan Syi’ah.

Langkah ini tentunya tidak saja sangat menggembIraqan, tapi juga membanggakan dan seharusnya memang demikian. Menggembirakan karena memang konflik Timur Tengah sudah memakan waktu terlalu lama, parah dan telah memakan korban yang luar biasa. Mungkin ini adalah langkah besar yang dilakukan oleh sebuah negara Muslim besar untuk meringankan beban berat umat yang hidup di belahan dunia itu.

Membanggakan, karena Indonesia adalah negara besar, ditilik dari berbagai sudut, baik secara teritorial, sumber daya alam, penduduk (SDM). Tapi tentunya, secara khusus lagi, Indonesia tentu bangga karena negara ini berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Maka, ketika Indonesia proaktif melakukan langkah-langkah upaya perdamaian di Timur Tengah, maka akan menambah kebanggaan bangsa ini.

Dan seharusnya memang demikian, karena bangsa dan negara ini memang memiliki filsafatnya sendiri, yaitu melihat kezaliman/penjajaha n sebagai musuh bersama dan harus diperangi/dielimini r, sesuai amanah UUD negara RI. Selain itu, sebagaimana diamanahkan oleh UUD 45, negara Indonesia memang harus proaktif dalam mewujudkan perdamaian dunia.

Islam dan dunia global

Tragedi 11 September 2001 telah mengubah konstalasi dunia dan hubungan internasional. Hubungan internasional tidak lagi didasarkan kepada faktor-faktor kekuatan politik, ekonomi dan militer, tapi telah diimbangi oleh faktor-faktor lain, termasuk faktor agama.

Serangan 11 September, yang kini cenderung dikultuskan sebagai “historical event” (kejadian bersejarah) yang perlu dikenang, dan bahkan menjadi titik awal dari berbagai fenomena dunia global saat ini, diakui atau tidak, telah menjadikan Islam dan pemeluknya lebih dikenal/diakui oleh dunia. Tentu pengenalan/pengakua n ini memiliki dua dimensi, positif dan negatif, tergantung siapa yang mengakui dan dari sudut mana pengakuan tersebut.

Dihubungkannya antara serangan terorisme 11 September 2001 dan Islam/pemeluk Islam menjadikan mata dunia terbelalak memandang dunia Islam. Islam, apakah dengan pandangan positif atau negatif, dilihat sebagai sebuah kekuatan baru yang menentukan arah perjalanan dunia global. Terorisme, yang oleh sebagian disamarkan sebagai “Islam” adalah kekuatan yang telah merubah drastis wajah hubungan antar negara. Maka, dengan sendirinya harapan kepada dunia Islam untuk melakukan sesuatu dalam rangka menghadapi apa yang dikumandangkan sebagai “musuh bersama” (terorisme) sangat besar.

Dunia Arab

Selama ini, karena letak geografisnya yang langsung bertetanggan dengan pusat konflik (baca: Palestina-Israel) , negara-negara Arab, khususnya Mesir, Jordan dan Saudi Arabia memiliki peranan penting di mata dunia, khususnya Amerika dan sekutunya. Selain itu, tentunya karena memang ada kepentingan ekonomi dunia Barat khususnya (baca: minyak) menjadikan mereka selalu mengedepankan negara-negara Arab sebagai sekutu dalam upaya penyelesaian konflik Timur Tengah.

Kini, harapan itu barangkali tidak terlalu besar lagi, tentu karena alasan-alasan yang kuat pula, antara lain sebagai berikut:

Pertama, karena dari sekian banyak oknum-oknum yang tertuduh teroris, khususnya dalam serangan WTC New York, mayoritasnya adalah berwarga negara Arab. Jadi ada semacam “keraguan” jika negara-negara Arab akan mampu menyelesaikan permasalahan krusial ini. Ibaratnya, penyakit tidak akan bisa disembuhkan oleh orang yang memiliki penyakit yang sama. Atau air kotor tidak akan bisa dipakai untuk membersihkan kotoran yang sama.

Kedua, adanya kepentingan- kepentingan masing-masing negara Arab dengan konflik-konflik yang terjadi. Sebagai misal, Saudi Arabia sangat mengkhawatirkan pengaruh Iran (baca: Syiah) di Iraq, yang nantinya akan mempengaruhi stabilitas keamanan Saudi sebagai negara yang “merasa mewakili” dunia Islam yang berpaham Sunni. Melibatkan Saudi secara langsung akan semakin membangkitkan amarah kaum Syiah dan menjustify pengaruh Iran di Iraq. Sementara di sisi lain tidak mungkin Iran dilibatkan karena terlanjur dianggap salah satu negara poros syetan (seiman dengan Iraq di masa Saddam dan Korea Utara).

Ketiga, salah satu alasan penyerangan Amerika Serikat dan sekutunya ke Iraq adalah misi demokratisasi. Artinya, penyerangan terhadap negara berdaulat Iraq, selain alasan keamanan dunia karena ancaman senjata kimia (terlah terbukti salah), menghukum Saddam yang telah melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia (membumis hanguskan kaum Kurdi), juga untuk menda’wahkan sistem demokrasi di Iraq sebagai batu loncatan bagi penyebaran demokrasi ke dunia Arab secara keseluruhan. Hingga kini, Presiden Bush masih menggembor-gemborka n alasan ketiga sebagai alasan terakhir untuk membenarkan serangan ke Iraq itu.

Maka, untuk melibatkan negara-negara Arab dalam proses penyelesaian konflik-konflik Timur Tengah, nampaknya mustahil. Masalahnya adalah tidak mungkin negara-negara Arab itu akan serius menyelesaikan konflik-konflik Timur Tengah, jika kepentingan- kepentingan penguasa itu pada akhirnya terancam. Demokratisasi dan keterbukaan di Iraq akan banyak mempengaruhi cara berfikirnya orang-orang di negara lain seperti Saudi, Bahrain, Kuwait, Imarat, Mesir, dll., yang pada akhirnya akan menularkan pergerakan “kemerdekaan internal” membebaskan mereka dari bentuk-bentuk pemerintahan yang tidak demokratis.

Di sinilah kemudian, khususnya setelah serangan 11 September itu, aktor-aktor utama dunia internasional melirik Indonesia sebagai partner alternatif dalam menghadapi berbagai permasalahan dunia, khususnya upaya penyelesaian berbagai konflik di Timur Tengah. Untuk peperangan terhadap terorisme, barangkali karena letak geografis dan “nature” penduduknya, Pakistan akan lebih banyak memainkan peranan. Tapi untuk permasalahan Timur Tengah, nampaknya Indonesia menjadi harapan besar. Tentunya karena beberapa alasan, antara lain:

Kenyataannya bahwa Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Jika saja semua penduduk negara-negara Arab disatukan, Muslim Indonesia masih saja lebih besar ketimbang mereka. Suara Indonesia akan banyak dianggap sebagai suara mayoritas dunia Islam.

Walau ada kasus-kasus terorisme yang terjadi di Indonesia, kenyataannya Indonesia masih dianggap negara Muslim moderat dan bersahabat. Tapi yang lebih penting, pemerintah Indonesia jauh lebih lincah dalam menyelesaikan kasus terorisme ketimbang banyak negara. Buktinya, hanya berselang beberapa pekan, pelaku bom Bali telah tertangkap dan kini telah diproses secara hukum. Berbeda dengan negara lain yang masih berjuang menangkap pelaku-pelaku terorisme yang mereka kejar. Sebaliknya, mereka terkadang melakukan penangkapan tapi kemudian tidak mampu membuktikan.

Sejarah membuktikan bahwa Indonesia telah menunjukkan dirinya sebagai negara yang aktif dalam berbagai forum internasional, antara lain, memprakarsai Konferensi Bandung atau yang lebih dikenal dengan Konferensi Asia-Afrika yang menjadi cikal bakal berdirinya negara-negara non-blok (Non Align Movement). Indonesia juga menjadi salah satu penggerak utama berdirinya Organisasi Konferensi Islam. Tentunya, jangan lupa kedudukan Indonesia dalam konteks negara-negara Asean.

Indonesia telah membuktikan peranannya yang besar dalam upaya penyelesaian konflik di berbagai belahan dunia. Mungkin bukti yang paling nyata dalam hal ini adalah penyelesaian konflik di Filipina Selatan antara Pemerintah pusat dan Gerakan Kemerdekaan Filipina Selatan di bawah komando Nur Miswari. Jangan lupa pula keterlibatan Indonesia di berbagai “peace keeping operations”, termasuk di Bosnia ketika itu dan kini di Lebanon Selatan.

Kepercayaan Dunia Internasional

Semua alasan di atas menjadikan Indonesia memiliki posisi terhormat di dunia internasional, khususnya di dunia ketiga dan lebih khusus lagi di dunia Islam. Maka, jangan heran jika saat ini Indonesia telah terpilih menduduki berbagai posisi di organisasi dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, antara lain sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan anggota Human Rights Council.

Kepercayaan dunia internasional ini tentunya tidak saja didasarkan kepada sejarah perjalanan panjang bangsa dan negara ini. Tapi yang lebih penting bahwa Indonesia telah mampu membuktikan diri sebagai negara berpenduduk besar keempat di dunia dengan penduduk Muslim terbesar, tapi mampu mendemokratisasi diri secara mulus dan berhasil. Keberhasilan ini membuat banyak pihak menganga hampir tidak percaya. Pertama, karena Islam sudah dipersepsikan sebagai agama yang kontra-demokrasi. Kedua, karena Indonesia sangat lama berada di bawah pemerintahan otoriterian, yang pada lazimnya akan berakhir dengan pertumpahan darah.

Sejarah dan fakta masa kini, keduanya menjadi landasan harapan dunia internasional terhadap Indonesia untuk lebih proaktif dalam melakukan langkah-langkah dalam upaya menyelesaikan konflik-konflik Timur Tengah. Kita tentunya yakin, keterlibatan Indonesia ini akan memberikan makna tersendiri bagi negara dan bangsa kita. Tapi jangan lupa, perjuangan “keluar” hanya akan berhasil jika dibarengi dengan perjuangan ke “dalam”. Pencitraan keluar tidak akan positif jika citra dalam negeri belum menunjukkan hal-hal yang positif.

Pemerintahan yang bersih, penegakan hukum, penegakan hak-hak asasi, kebebasan ekpresi dan bicara (tapi bertanggung jawab), dan tentunya yang lebih penting adalah upaya-upaya serius untuk memakmurkan rakyat itu sendiri akan banyak menentukan wajah Indonesia di luar negeri. Peranan Indonesia di luar negeri akan dihormati dan dihargai jika usaha-usaha proaktif dan profesional dalam mewujudkan penyelesaian konflik didasarkan kepada “wajah Indonesia” yang memang terhormat dan membanggakan.

Saya jadi teringat sebuah kejadian sekitar pertengahan 1996 silam. Saat itu Prof. Dr. Habibie selaku Menteri Riset dan Teknologi melakukan presentasi di Jeddah kepada para pebisnis Arab Saudi mengenai proyek pesawat terbang yang dirintisnya. Berbagai pertanyaan dijawab secara tuntas, kecuali dua: Pertama, kalau Indonesia demikian maju dalam proyek-proyek teknologi, kenapa masih berkeliaran warga Indonesia mencari kerjaan di Arab Saudi? Kedua, apa proyek ini nantinya tidak akan terjatuh ke dalam kungkungan tangan-tangan koruptor?

Menanggapi pertanyaan itu, pak Habibie tersenyum sinis sambil membelalakkan bola matanya sambil menengok kiri kanan.

Saya juga khawatir, perjuangan ke luar untuk menaikkan citra dan meninggikan nama dan peranan, pada akhirnya akan sia-sia karena tidak/kurang dibarengi oleh kesungguhan untuk membenahi diri dalam negeri.

Jika ini terjadi, kita akan menjadi objek pepatah Arab: “Faaqidu as-Syaei laa yu’thi” (seseorang yang tidak memiliki apa-apa, tidak akan memberi apa-apa). Atau mungkin yang lebih berbahaya adalah: “lima taquuluuna ma laa taf’aluun” (kenapa kamu mengatakan apa-apa yang kamu tidak lakukan?). Semoga tidak!.

Tinggalkan komentar

Belum ada komentar.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar