Dosa Tak Berampun
Oleh Eka Darmaputera
Profesor R. Soedarmo almarhum, guru besar saya di STT dulu, pernah mengatakan bahwa ada dua sikap yang salah, yang menyebabkan ”dosa” lebih kuat mencengkeram kehidupan manusia. Yang pertama, adalah sikap meneropong ”dosa” melalui ”kaca pengecil”. Sikap meremehkan dan memandang enteng dosa.
”Dosa? Ah, keciiil! No problem-lah! Kita ”kan punya Allah yang Maha Kasih dan Maha Pengampun?! Jadi santai-santai sajalah menikmati hidup ini!”
Selintas, orang-orang yang ”easy going” seperti ini, wah, kelihatannya hidupnya serbatenang dan menyenangkan. Tak pernah diganggu keragu-raguan, ”Ini boleh tidak?” atau ”Itu salah tidak?”. Tapi bahagiakah mereka? Kemungkinan besar, tidak! Kelihatannya saja mereka bebas, tapi sebenarnya terpasung. O, ya?
Ya, sebab, seperti pernah dikemukakan oleh Bonhoeffer, orang yang cuma punya kebebasan tapi menolak pembatasan, sebenarnyalah hidup dalam perbudakan, yaitu diperbudak oleh hawa nafsu sendiri, yang, lambat atau cepat, akan membinasakannya.
Jadi, sekali lagi, apa kesalahan mereka? Mereka memandang ”dosa” terlalu remeh, serta menganggap ”pengampunan Tuhan” terlalu mudah.
***
KESALAHAN kedua, adalah sebaliknya, yakni ketika orang meneropong ”dosa” melalui ”kaca pembesar”. Hasilnya? ”Dosa” lalu kelihatan begitu mengerikan, melebihi kenyataan sebenarnya. Membuat si peneropong kehilangan nyali untuk melawan.
Sikap kedua ini, antara lain, diwakili oleh orang-orang yang merasa dikejar-kejar oleh ”rasa berdosa” yang terus menghantui. Mereka sungguh merasa tertekan, ibarat dikejar-kejar oleh penagih-penagih utang ke manapun mereka pergi. Mereka padahal tahu, utang itu tak mungkin mereka lunasi.
Hidup ditindih ”perasaan berdosa” ini amat menyiksa! Tapi, anehnya, tak sedikit pun mereka berusaha bisa keluar dari situ. Mengapa? Sebab merasa diri terlalu kotor dan terlalu nista. Beranggapan bahwa usaha untuk keluar itu sia-sia belaka. Sebab siapa yang masih bersedia menerima mereka? Tak ada!
Di sini, di mana letak kesalahannya? Karena orang memandang ”pengampunan Tuhan” terlalu mahal. Harganya tak terjangkau. Jadi, apa boleh buat, satu-satunya kemungkinan hanyalah berkubang di situ, di lumpur dosa.
***
AKIBAT yang ditimbulkan oleh dua ”salah kaprah” itu cukup serius. Sikap ”meremehkan dosa” akan melahirkan manusia-manusia ”tuna-norma”. Orang-orang yang tak hirau akan batasan-batasan antara yang ”benar” dan yang ”salah”. Yang hidupnya didasari oleh satu prinsip saja: prinsip ”pokoknya”. Pokoknya, saya senang! Pokoknya, saya mau!
Kedengaran ”gagah” sekali pernyataan itu, bukan? Ya! Namun bila coba kritisi lebih teliti, tidak bisa tidak, muncullah pertanyaan ini. Yaitu, lalu apa bedanya mereka dibandingkan dengan hewan-hewan liar? Bukankah keduanya sama-sama hidup berdasarkan prinsip ”pokoknya”? Tanpa ”kesadaran moral”?
Dan bayangkanlah oleh Anda, ragam kehidupan seperti apa yang akan dihasilkan, bila semua orang hidup tanpa norma! Pastilah suasana kehidupan seperti yang dilukiskan dalam ”Leviathan”-nya Thomas Hobbes. Situasi ”perang antara semua melawan semua”. War of all against all. Di mana manusia saling menjadi ”serigala” bagi sesamanya. Homo homini lupus. Saling menerkam. Saling memangsa. Alangkah mengerikan!
Akibat yang ditimbulkan oleh sikap kedua, tak kurang pula tragisnya. Di sini ”dosa” juga dibiarkan bersimaharajalela, mendominasi kehidupan manusia dengan bebasnya. Hanya saja, di sini penyebabnya bukan karena orang meremehkan ”dosa”. Sebaliknyalah, situasi ini disebabkan karena manusia terlalu serius menyadari dahsyatnya ”dosa”. Namun begitu seriusnya, sehingga ”dosa” dipandang terlalu perkasa, tak mungkin dilawan.
***
DI ANTARA dua sikap ekstrim tersebut-lah, kita mendapati kata-kata Yesus yang akan kita bahas kali ini, amat bermanfaat. Amat bermanfaat, karena ia meletakkan duduk perkara pada proporsi-nya yang tepat.
Yang saya maksud adalah kata-kata Yesus ini, ”Segala dosa dan hujat manusia akan diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni … di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datang pun tidak” (Matius 12:31-32)
Bagi banyak orang, kata-kata tersebut termasuk ”sulit” dipahami. Apa sih ”dosa hujat terhadap Roh Kudus” itu? Perbuatan-perbuatan apa saja termasuk di situ? Lalu mengapa dosa ini tak dapat diampuni? Apakah itu berarti, semua perbuatan dosa yang lain akan diampuni? Segala macam dosa?
***
PERTANYAAN-PERTANYAAN tersebut akan terjawab pada waktunya. Tapi sementara ini, perkenankanlah saya mengemukakan tiga hal penting yang terkandung di dalam kata-kata Yesus tersebut – implisit maupun eksplisit.
Pertama, melalui kata-kata-Nya itu, Yesus menyampaikan sebuah berita pembebasan yang melegakan. ”Segala dosa dan hujat manusia akan diampuni”! Siapa pun, kata Yesus, kini tak perlu lagi harus terengah-engah dikejar-kejar oleh perasaan berdosa, dan hidup dalam depresi yang tanpa jalan keluar! Mengapa? Sebab, ada pengampunan!
Dosa Anda mungkin besar. Boleh jadi, bahkan sangat besar! Karena itu, Anda benar, mengerahkan segenap daya pun tetap tak cukup untuk melunasi ”utang” Anda! Saya juga tidak menyalahkan, bila Anda dikejar oleh ”perasaan bersalah”. Ini justru menunjukkan betapa Anda menyadari dan menyesali apa yang telah Anda lakukan itu!
Tapi jangan pernah merasa bahwa Anda cuma bisa menyerah! Sebab, betapa pun ”besar” dosa Anda, Yesus ingin menegaskan, bahwa kuasa kasih dan pengampunan Allah masih jauh lebih besar!
***
NAMUN, kedua, ini tidak berarti bahwa pengampunan itu ”murah” dan ”mudah”. Tidak berarti bahwa pengampunan berlaku otomatis. Tidak! Kata Yesus, ”Tapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni … di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datang pun tidak”.
Artinya, ada ”dosa” yang begitu seriusnya, sehingga ”tidak akan diampuni”! Sebab itu, jangan pandang enteng ”dosa”! Ada dosa yang tidak akan diampuni! Bukan karena Allah tidak mampu mengampuninya, tapi karena Ia tidak mau! Sebab itu amat penting kita mengetahui, dosa apa yang disebut ”dosa tak berampun” itu. Inilah yang ketiga yang ingin Yesus kemukakan.
Apakah dosa ”hujat terhadap Roh Kudus”? Kita sama-sama mengetahui, bahwa ”Roh Kudus” tak lain adalah Allah sendiri. Kalau ”Allah Bapa” adalah Allah yang berada ”di atas” kita; ”Allah Anak” adalah Allah yang berada ”di samping” kita; maka ”Roh Kudus”, demikian kepercayaan kita, adalah Allah yang bekerja ”di dalam” kita.
Bekerja ”di dalam” kita, Roh Kudus berfungsi untuk mengarahkan seluruh kehendak kita kepada Allah. Menjadi ”pendorong” dan ”penghibur” tatkala kita lemah.
Dan yang terutama adalah, Ia berada di pusat kesadaran serta hati nurani kita. Ia menerbitkan kesadaran dan pengetahuan akan apa yang ”benar” dan apa yang ”salah”. Sekaligus meneguhkan kemauan kita untuk melakukan yang ”benar” dan menghindarri yang ”salah”. Amal ma’ruf, nahi mungkar.
Bila fungsi ”Roh Kudus” adalah itu, maka kini dapatlah mulai kita fahami apa yang dimaksudkan Yesus dengan ”hujat terhadap Roh Kudus” itu.
Yaitu, ketika manusia mengetahui benar mana yang ”benar” dan mana yang ”salah”, tapi dengan sadar ia memilih yang ”salah”. Ketika manusia mendengar bisikan Roh Kudus melalui suara hati nurani-nya, tapi dengan sengaja ia membungkamnya.
***
DENGAN perkataan lain, dosa ”hujat terhadap Roh Kudus” adalah dosa ”mengeraskan hati”. Tahu, tapi tidak mau tahu. Bisa memilih yang lain, tapi tidak melakukannya.
Mengapa ini merupakan ”dosa yang tak berampun”? Sebab, yang bersangkutan tak merasa perlu memohon pengampunan. Tidak membutuhkan pengampunan. Merasa berdosa pun tidak.
Padahal, kita tahu, pengampunan itu hanya tersedia bagi mereka yang ”menyadari” akan dosa-dosanya, ”menyesali”nya, lalu ”mengakui”nya, seraya berseru mencari dan memohon pengampunan, dan memperlihatkan tekad pertobatan!
Semua persyaratan ini, tak satu pun dapat dipenuhi oleh orang-orang yang sengaja mengeraskan hati. Maka, Firman Tuhan, ”jika kita sengaja berbuat dosa sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu” (Ibrani 10:26). Tak ada harapan pengampunan.
16 Maret 2009
Kategori: Uncategorized . . Penulis: mdryangood . Comments: Tinggalkan komentar